KH.ABDUR RAHMAN WAHID

KH ABDUR RAHMAN WAHID YANG BIASA DISAPA GUSDUR ADALAH TOKOH NASIONAL DENGAN BERBAGAI PREDIKAT - SEBAGAI ULAMA BESAR, BAPAK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA - BAPAK LSM - JURNALIS DAN BERBAGAI SEBUTAN LAINNYA

Senin, 11 Januari 2010

Forum Kiai Muda NU : Ulil Mencatut Gus Dur

Forum Tabayyun dan Debat Forum Kiai Muda (FKM) NU dengan Ulil berlangsung seru. Tak kurang dari 500 orang hadir dalam kesempatan itu. Mereka datang dari Jember, Banyuwangi, Situbondo, Pasuruan dan Probolinggo. Seolah-olah forum itu menjadi tempat penumpahan uneg-uneg warga NU terhadap gagasan dan pemikiran Ulil mengenai Islam liberal yang diusungnya selama ini.

Debat yang dimoderatori Kiai Abdurrahman Navis itu mengangkat dua pemikirian Ulil yang sangat kontroversial, yaitu soal pluralisme agama dan kesakralan Al-Qur’an. FKM diberi kesempatan pertama untuk menyampaikan “uneg-uneg” terkait dengan pemikiran Ulil.

Peserta menanyakan hal urgen terkait masalah prinsip beragama. Diantaranya Masalah pluralisme agama, semua agama sama benar.

Dalam acara ini, nampak peserta sangat rapi menyiapkan berbagai bahan baik ucapan, tulisan dan pernyataan Ulil menyangkut paham liberal selama ini.

Ketika terpojok, Ulil malah berlindung kepada Gus Dur. Ia mengaku pemikirannya sudah dikembangkan oleh Gus Dur

Ketika terpojok, Ulil malah berlindung kepada Gus Dur. Ia mengaku pemikirannya sudah dikembangkan oleh Gus Dur. “Sebenarnya pemikiran soal pluralisme sudah diungkap oleh Gus Dur, kenapa baru sekarang ramai,” ungkap Ulil dikutip situs www.nu.or.id.

Gus A’ab, menyayangkan tulisan-tulisan Ulil soal pluralisme agama selama ini. Pasalnya, Ulil telah menyamaratakan semua agama. Menurut Gus A’ab, pemikirian Ulil yang menyatakan bahwa semua agama itu benar adalah salah besar. Yang betul, katanya, orang Islam wajib meyakini bahwa agama Islamlah yang benar, walaupun keyakinan itu tidak boleh sampai menghilangkan toleransi terhadap kebenaran agama lain sesuai keyakinan penganutnya.

“Jadi jangan pernah mengagggap semua agama benar. Kita harus tetap meyakini Islam itu yang benar tanpa harus menafikan kebenaran agama lain sesuai yan diyakini pemeluknya,” tukasnya Gus A’ab.

Mendapat serangan itu, Ulil menghindar. “Tidak benar saya mengatakan semua agama itu benar. Yang sama itu hanya agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Karena, tiga agama itu minimal mempunyai landasan teoleogi yang sama,” jelas Ulil.

Debat semakin seru, karena pengunjung banyak yang berteriak ketika Ulil lagi-lagi menghidari pernyataannya sendiri di berbagai tulisannya. Padahal, FKM membawa segepok foto copy tulisan Ulil yang berisi pemikiran kontroversial itu.

Forum Kiai Muda (FKM) NU menilai paham JIL cenderung membatalkan otoritas para ulama salaf. Namun mengajak menghadapi JIL dengan dialog

Menurut Gus A’ab, pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak bisa dikaitkan dengan NU, meskipun beberapa orang dari kelompok ini adalah anak NU, bahkan menantu salah seorang tokoh NU.

Ia menyatakan, keberadaan JIL sangat merisaukan warga NU, karena salah seorang pentolannya, Ulil Abshar-Abdalla adalah warga NU
Di bawah ini pernyataan lengkap Forum Kiai Muda NU:
Kesimpulan Forum Tabayyun dan Dialog Terbuka
Antara Jaringan Islam Liberal dan Forum Kiai Muda (FKM) NU Jawa Timur
Di PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur
Ahad, 11 Oktober 2009


Dewasa ini sedang berlangsung perang terbuka dalam pemikiran (ghazwul fikri) pada tataran global. Melalui sejumlah kampanye dan agitasi pemikiran, seperti perang melawan terorisme dan promosi ide-ide liberalisme politik dan ekonomi neo-liberal, Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia berupaya menjinakkan ancaman kelompok-kelompok radikal, memanas-manasi pertikaian di antara kelompok radikal dan moderat dalam tubuh umat Islam, serta menyeret umat Islam dan bangsa ini ikut menjadi proyek liberal mereka.

Dengan memperhatikan perkembangan global tersebut, dan terdorong oleh kepentingan membela tradisi Ahlussunnah Waljamaah yang dianut oleh warga NU sebagai bagian dari identitas dan jati diri bangsa ini, Forum Kiai Muda Jawa Timur memberikan kesimpulan tentang hasil-hasil dialog dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) sebagai berikut:

1. Sdr. Ulil Abshar Abdalla dengan JIL-nya tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu (zhuruf), dan pesan sponsor yang tidak berakar dalam tradisi berpikir masyarakat bangsa ini.

2. Pada dasarnya pemikiran-pemikiran JIL bertujuan untuk membongkar kemapanan beragama dan bertradisi kaum Nahdliyin. Cara-cara membongkar kemapanan itu dilakukan dengan tiga cara: (1) Liberalisasi dalam bidang akidah; (2) Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran; dan, (3) Liberalisasi dalam bidang syariat dan akhlak.

3. Liberalisasi dalam bidang akidah yang diajarkan JIL, misalnya bahwa semua agama sama, dan tentang pluralisme, bertentangan dengan akidah Islam Ahlussunnah Waljamaah. Warga NU meyakini agama Islam sebagai agama yang paling benar, dengan tidak menafikan hubungan yang baik dengan penganut agama lainnya yang memandang agama mereka juga benar menurut mereka. Sementara ajaran pluralisme yang dimaksud JIL berlainan dengan pandangan ukhuwah wathaniyah yang dipegang NU yang mengokohkan solidaritas dengan saudara-saudara sebangsa. NU juga tidak menaruh toleransi terhadap pandangan-pandangan imperialis neo-liberalisme Amerika yang berkedok “pluralisme dan toleransi agama”.

4. Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran yang diajarkan JIL, misalnya al-Quran adalah produk budaya dan keotentikannya diragukan, tentu berseberangan dengan pandangan mayoritas umat Islam yang meyakini al-Quran itu firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan terjaga keasliannya.

5. Liberalisasi dalam bidang syari’ah dan akhlak di mana JIL mengatakan bahwa hukum Tuhan itu tidak ada, jelas bertolak belakang dengan ajaran Al Quran dan Sunnah yang mengandung ketentuan hukum bagi umat Islam. JIL juga mengabaikan sikap-sikap tawadhu’ dan akhlaqul karimah kepada para ulama dan kiai. JIL juga tidak menghargai tradisi pesantren sebagai modal sosial bangsa ini dalam mensejahterakan bangsa dan memperkuat Pancasila dan NKRI.

6. Ide-ide liberalisasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) yang diangkat oleh kelompok JIL dalam konteks NU dan pesantren tidak bisa dilepaskan dari Neo-Liberalisme yang berasal dari dunia kapitalisme, yang menghendaki agar para kiai dan komunitas pesantren tidak ikut campur dalam menggerakkan tradisinya sebagai kritik dan pembebasan dari penjajahan dan kerakusan kaum kapitalis yang menjarah sumber-sumber daya alam bangsa kita.

7. JIL cenderung membatalkan otoritas para ulama salaf dan menanamkan ketidakpercayaan kepada mereka, sementara di sisi lain mereka mengagumi pemikiran orientalis Barat dan murid-muridnya, seperti Huston Smith, John Shelby Spong, Nasr Hamid Abu Zaid, dan sebagainya.

8. Menghadapi pemikiran-pemikiran JIL tidak dilawan dengan amuk-amuk dan cara-cara kekerasan, tapi harus melalui pendekatan yang strategis dan taktis, dengan dialog-dialog dan pencerahan.

http://www.voa-islam.com/news/indonesia/2009/10/13/1381/forum-kiai-muda-nu-ulil-mencatut-gus-dur/

Gus Dur, Sang Penakluk

Seorang bayi laki-laki lahir di Jombang Jawa Timur tanggal 7 September 1940, dari rahim seorang Ibu bernama Solichah itu oleh ayahnya KH Wahid Hasyim diberi nama Abdurrahman Addakhil, Abdurrahman Sang Penakluk. Bayi lelaki yang tidak berbeda dengan bayi-bayi lain yang lahir ke dunia senantiasa disambut dengan suka cita oleh keluarganya. Bedanya, bayi Abdurrahman Addakhil ini, lahir di tengah keluarga ulama besar KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, sehingga kelahirannya disambut dengan sukacita dan tradisi pesantren Islam yang sangat kental.

Bayi kecil inilah yang kelak dikenal sebagai Abdurrahman Wahid, dan dipanggil oleh orang-orang dekatnya dengan panggilan mesra Gus Dur. Tidak jelas sejak kapan nama belakang Addakhil itu kemudian tergantikan dengan Wahid. Tidak ada yang tahu. Tetapi jiwa Addakhil, tak pernah luntur dari dirinya. Addakhil, konon berarti ”Sang Penakluk”. Sebutan yang sungguh patriotik, dan sekaligus merupakan pesan, harapan dan doa dari orangtuanya, agar bayi lelaki ini kelak tumbuh menjadi seorang lelaki berjiwa penakluk.

Mencermati kesan dari orang-orang dekatnya, para tokoh, pejabat negara, sahabat, bahkan ”musuh”nya yang muncul di berbagai media, semuanya menggambarkan betapa sosok Gus Dur ini memang layak untuk mendapat julukan Sang Penakluk, sebagaimana nama yang disandangnya sejak lahir. Nama Sang Penakluk yang kemudian pelan-pelan dilupakan orang, berganti dengan Wahid, yang konon berarti satu itu pun sesungguhnya bukan sama sekali meniadakan keberadaan Sang Penakluk. Justru dengan sebutan Wahid dibelakang Abdurrahman itu menunjukkan pesan tersirat yang sangat dalam.

Abdurrahman, konon bermakna Abdi Sang Maha Penyayang. Ketika nama ini disambung dengan nama Addakhil, Sang Penakluk, maka dia menjadi Abdi Sang Maha Penyayang yang akan menjadi Sang Penakluk. Bagusnya kemudian nama Addakhil ini perlahan disembunyikan dan diganti dengan Wahid. Sehingga Addakhil, Sang Penakluk itu menjadi hidden name, masuk ke dalam relung jiwa yang paling dalam, menjadi semangat yang tersembunyi tetapi tidak pernah hilang dari dirinya. Bagusnya pula, hidden name itu kemudian digantikan dengan Wahid, hanya ada satu, seakan-akan menjadi sebuah proses perubahan yang memengaruhi perjalanan hidupnya.

Jiwa pengabdiannya selalu dilandasi dengan semangat kasih sayang, itulah Abdurrahman. Dengan semangat kasih sayang itu dia menjadi Sang Penakluk, itulah Addakhil. Karena dia menaklukkan bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kasih sayang, maka tidak ada yang merasa kalah. Bahkan kadang-kadang terkesan Sang Penakluk lah yang kalah. Dilengserkan dari kedudukannya sebagai Presiden, lalu dilengserkan lagi dari jabatannya sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB, tetap menempatkan dirinya sebagai Sang Penakluk yang tersembunyi. Buktinya dia tidak melakukan perlawanan menggunakan kekuatan pendukungnya yang sangat besar. Dia tidak melakukan itu, karena semangat dan jiwa kasih sayang yang diemban dari nama Abdurrahman.

Dia tetap Addakhil, Sang Penakluk, walaupun tersembunyi. Semangat menaklukkan tidak pernah surut, walaupun dia sembunyikan secara hati-hati agar tidak menyebabkan pihak-pihak yang tidak menyukainya akan terluka. Tetapi dia tetap Wahid, hanya ada satu penakluk, yaitu Abdurrahman.

Abdurrahman Addakhil Wahid, sungguh nama yang indah dan mengandung harapan, doa dan semangat. Dia lahir dari kalangan pesantren yang kental, sehingga yang dijadikan anutan adalah contoh dan pesan Nabi Muhammad Saw, ”berilah nama yang baik kepada anakmu, karena nama itu adalah doa untuk si anak”. Nama yang melekat pada bayi suci yang lahir tanggal 7 September 1940 di Jombang Jawa Timur itu ternyata benar-benar menjadi doa, harapan dan semangat hidupnya, keluarganya, para pengikutnya dan bahkan seluruh rakyat Indonesia.

Selamat jalan, Gus. Maaf, tak ada airmata untukmu, karena kamu pasti sudah mendapatkan kebahagiaan di sisi Tuhanmu.*****

http://sosbud.kompasiana.com/2009/12/31/gus-dur-sang-penakluk/

Tradisi Bermakmum ke Gus Dur

Tradisi Bermakmum ke Gus Dur

# Zuhairi MisrawiPENELITI PERHIMPUNAN PENGEMBANGAN PESANTREN DAN MASRAYAKAT

Semenjak Hasyim Muzadi resmi digaet Megawati sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilihan presiden 5 Juli nanti, sejumlah milis yang beranggotakan anak muda Nahdlatul Ulama ramai mendiskusikan kondisi NU mutakhir. Sebut saja, milis KMNU dan islamemansipatoris. Anak muda NU tersebut biasanya disebut dengan ABG (Anak Buah Gus Dur). Kenapa? Jawabannya jelas: mereka adalah generasi muda yang merasa nyaman, terinspirasi, dan dilindungi oleh Gus Dur. Anak muda NU dikenal sebagai komunitas progresif dalam tubuh NU yang mempunyai pikiran-pikiran nakal, sebagaimana layaknya Gus Dur.

Saya menangkap kesan, mereka sepertinya kaget dan tak percaya dengan wajah NU belakangan ini. Mereka berharap Gus Dur bisa menjadi satu-satunya rujukan dalam hal apa saja yang berkaitan dengan NU. Kaidah yang diyakini selama ini adalah Gus Dur sebagai problem sekaligus sebagai solusi. Sikap yang diambil Gus Dur mempunyai kemungkinan untuk benar, sehingga mereka biasanya hanya cukup mencari justifikasi dan rasionalisasi. Bahkan, sebagian komunitas yang rasional dan berpendidikan tinggi sekalipun di NU meyakini hanya ada dua pasal tentang Gus Dur. Pertama, Gus Dur tidak pernah salah. Kedua, bila Gus Dur salah kembalikan pada pasal pertama alias "Gus Dur tidak pernah salah".

Namun, ada hal menarik yang perlu diapresiasi secara lebih jauh dari hasil diskusi anak muda NU tersebut, bahwa pembelaan terhadap Gus Dur mulai mengalami degradasi--terutama dalam ranah politik. Sepertinya ada pasal lain, selain kedua pasal tersebut: tidak wajib bermakmum kepada Gus Dur, terutama dalam hal politik.

Kenapa demikian? Alasannya tentu saja karena, bersamaan dengan perjalanan waktu, NU makin menunjukkan kematangannya. Setidaknya, saat ini terpampang secara transparan, telah terjadi distribusi otoritas dan popularitas dalam tubuh NU sesuai dengan maqam-nya. Artinya, tidak bisa seluruh urusan dipanggul di pundak Gus Dur. Urusan NU dan urusan bangsa yang begitu kompleks tak bisa diselesaikan oleh seorang Gus Dur. Paling-paling, Gus Dur hanya bisa menjadi "pengamat" atau "pelatih". Sedangkan untuk menjadi "pemain" sepertinya akan memberi dampak yang perlu dipertimbangkan, di antaranya ketidakmampuan pemain yang lain menangkap pesan Gus Dur yang selalu abstrak. Karenanya, segala urusan yang berkaitan dengan publik dan kepentingan masyarakat banyak harus diserahkan kepada "pemain", yaitu masyarakat dan warga terbaik pada umumnya.

Munculnya sejumlah tokoh kandidat pemimpin nasional dari komunitas NU, seperti Hasyim Muzadi, Salahuddin Wahid, Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz semakin menguatkan bahwa bermakmum kepada Gus Dur bukanlah sebuah kewajiban yang bersifat mutlak. Artinya, tradisi untuk selalu bermakmum kepada Gus Dur sudah tidak mungkin lagi. NU telah memproduksi sejumlah tokoh yang brilian dan kredibel dalam bidangnya. Ini memberikan dampak yang amat baik bagi NU di masa mendatang, bahwa putra terbaik NU mempunyai kesempatan yang sama dan setara untuk tampil ke permukaan. Fakta ini setidaknya juga akan mematahkan klaim bahwa hanya mereka yang berasal dari "darah biru" atau "orang-orang terdekat" saja yang mampu beraktualisasi dan berperan secara maksimal, sebagaimana yang terjadi dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa saat ini.

Keberanian Hasyim Muzadi untuk melawan pakem dan mendobrak mitos politik NU menjadi salah satu contoh terbaik. Hasyim bukanlah sosok yang berasal dari komunitas darah biru dan tidak pula dari lingkungan terdekat Gus Dur, sehingga memungkinkan dia untuk melampaui tradisi NU yang sudah mendarah daging untuk bermakmum selamanya kepada Gus Dur. Terpilihnya Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum PB NU pada muktamar Kediri sebenarnya menimbulkan kontroversi juga di kalangan NU. Bagaimana mungkin Hasyim yang tidak berasal dari darah biru menjadi Ketua Umum PB NU? Walaupun begitu, Hasyim dianggap berhasil memegang tampuk kepemimpinan NU, meski tingkat keberhasilannya masih bisa diperdebatkan bila dibandingkan dengan tingkat keberhasilan Gus Dur.

Klausul untuk tidak bermakmum kepada Gus Dur untuk saat ini dan mungkin saat-saat yang akan datang perlu mendapat perhatian semestinya oleh semua pihak. Pertama, persoalan bangsa pada umumnya dan NU pada khususnya memerlukan diagnosis dan anatomi yang mendalam. Mengharap solusi dan jawaban dari seorang Gus Dur sepertinya terkesan menyederhanakan persoalan. Caranya adalah menjadikan Gus Dur sebagai salah satu rujukan dan bukan satu-satunya rujukan penting, merupakan sebuah kesadaran yang semestinya dibangun dalam konteks berbangsa dan ber-NU. Toh, Gus Dur sendiri tidak bermaksud memberikan solusi, tapi hanya memberi "petunjuk" dan "jalan" yang bisa dipertimbangkan.

Kedua, bermakmum atau bermazhab kepada tokoh tertentu bukanlah hal yang mutlak. Bahkan dalam tradisi fiqih pun belakangan telah muncul gagasan untuk tidak bermazhab secara ketat (allamadzhabiyyah) atau bermazhab secara metodologis (al-madzhab al-manhajy). Pemandangan ini sesungguhnya memberikan makna yang cukup berarti dalam konteks yang lebih luas, bahwa kesadaran untuk bermakmum kepada sosok dan pendapat tertentu telah mengalami kelenturan yang sangat luar biasa. Ini sesuai dengan pesan Imam Ali yang selalu diajarkan di pesantren, "lihatlah apa yang ia katakan, bukan siapa yang mengatakan" (undzur ma qala wa la tandzur man qala).

Karena itu, ada baiknya bila NU di masa mendatang mengembangkan tradisi baru yang lebih mengutamakan dimensi kontraksial, baik dalam konteks NU sendiri maupun konteks yang lebih luas. Dukungan terhadap tokoh tertentu hatta kepada mereka yang berasal dari "darah biru" sekalipun tidak bisa diberikan secara mudah dengan kepercayaan penuh, tapi harus melalui "kontrak sosial" yang jelas, sehingga tatkala memimpin tidak bisa memanipulasi suara jemaahnya.

NU merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh dan wibawa, tidak hanya dalam ranah nasional tapi juga internasional. Karenanya, NU mesti membuat mekanisme yang jelas mengenai pilihan-pilihan strategisnya, baik dalam politik maupun kerja-kerja kultural. Sebab, fakta untuk menyerahkan mandat kepada seseorang tanpa adanya mekanisme yang jelas hanya akan memberikan beban yang amat berat, yaitu ketidakjelasan kepada siapa sebenarnya keberpihakan diberikan? Kepada seseorang atau kepada publik?

Dalam hal inilah NU perlu keras mereposisi dirinya untuk menjadi organisasi yang memberikan makna dan manfaat berarti bagi warganya. Dan itulah substansi khitah yang sesungguhnya.

http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VggOXFgAVgcA

Humor Pesantren dan Gus Dur

Humor Pesantren dan Gus Dur
-- H. Usep Romli H.M.*

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terkenal sebagai kiai humoris. Di mana-mana ia menebar humor. Saat mengobrol santai, mengisi acara diskusi atau seminar serius, selalu saja menyelipkan humor-humor yang membuat semua pendengar tertawa, atau minimal senyum simpul. Bahkan ketika menjadi presiden (1999-2001), Gus Dur tak pernah melupakan humor untuk mencairkan pidato-pidato resminya agar tidak kaku dan membosankan.

Sebagai orang pesantren, yang pernah mengembara mencari ilmu ke Mesir dan Irak, Gus Dur pasti memiliki perbendaharaan humor bergudang-gudang. Bagi orang yang menguasai bahasa Arab, berikut segala perangkat keilmuannya, seperti mahraj (phonetic), nahwu (syntaxis), sharaf (morfologi), dan balaghah (stylistic) tidak sulit menelusuri khazanah literatur Arab, termasuk literatur humor yang tampaknya menjadi keahlian para penulis Arab untuk mengumpulkannya. Tradisi kepenulisan di kalangan bangsa Arab memang sudah mendarah daging. Hampir setiap peristiwa besar, silsilah, sejarah, nama, dan reputasi seseorang selalu dicatat baik-baik, dikembangkan dari generasi ke generasi. Umpamanya, peristiwa perang antara kabilah-kabilah Arab jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw., dapat terwariskan hingga kini melalui buku "Ayyamul Arab" (Hari-Hari Arab).

Begitu pula dengan folklore, berbentuk puisi, nyanyian, anekdot, dan sebagainya, sebagian besar sudah terdokumentasikan. Beberapa di antaranya diadaptasi terus-menerus sesuai dengan keadaan zaman. Diaktualisasikan sesuai dengan kebutuhan.

Gus Dur merupakan salah seorang yang pandai mengaktualisasikan karya-karya itu menjadi humor spontan yang lucu dan menarik perhatian. Walaupun koleksi buku (kitab) di pesantren-pesantren sebagian besar berupa ilmu fikih (hukum), tafsir Quran, hadis, akidah, akhlak, dan tata bahasa (Arab), tetapi ada juga buku/kitab di luar itu, terutama buku-buku kumpulan humor tadi yang berguna untuk mengasah kecerdasan, mempertajam pemahaman, dan melatih sikap kritis.

Gus Dur sendiri, ketika memberi pengantar buku humor Mati Ketawa Cara Rusia (1986), menyatakan, "Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk mentertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah sublimasi dan kearifan sebuah masyarakat. Mengapakah kemampuan mentertawakan diri sendiri menjadi demikian menentukan? Karena orang harus mengenal diri sendiri sebelum mampu melihat yang aneh-aneh dari perilaku diri sendiri itu," (hal.XI).

Dari penelusuran melalui berbagai katalog perpustakaan literatur Arab, terdapat banyak sekali buku himpunan humor atau anekdot dalam bahasa itu. Ada yang satu jilid, ada yang mencapai tiga puluhan jilid. Antara lain Akhbarul Hamqa wal Mughafalien disusun oleh Jamaluddin Abdurahman bin Ali Ibnu Jauzi (abad 6 Hijriah/12 Masehi), mengisahkan ketololan dan kedunguan orang-orang di berbagai bidang profesi (petani, pedagang, hakim, jaksa, ulama, akademisi, menteri, bahkan sultan atau raja). Ugalaul Majanien susunan Abu Qasim an Naisabury, mengisahkan orang-orang yang dianggap gila tetapi pendapat-pendapatnya mengandung kebenaran melebihi orang waras. Al Bukhala susunan Jahidz, mengisahkan perilaku orang-orang kikir yang menyebalkan sekaligus menggelikan.

Banyak lagi buku himpunan humor dengan beragam tema. Seperti Jami’ul Jawahir susunan Syekh Abu Ishaq Qairawani, Al Kasykul Bahauddin Amili, Iqdul Farid Ibnu Abi Rabih al Andalusi, Uyunul Akhbar Ibnu Qutaibah Dinwari, Nihayatul Arab Syihabudin Nuwairi, Al Aghani Abu Faraj an Nisaburi, dan lain-lain. Tokoh humor yang kemudian populer pada masa kini, antara lain Nasrudin Hoja, Juha al Arabi, Abu Nawas, Asy’ab al Majnuni, Bahlul, Qarahqus, dan lain-lain, dengan berbagai modifikasi humor-humor mereka.

Pantaslah Gus Dur tak pernah kehabisan cadangan humor. Bacaan di pesantren, ditambah aneka macam referensi yang ditemukan di Timur Tengah telah memperkaya wawasan pengetahuan dan penguasaan materi humor yang terus-menerus diperbaharui dalam berbagai versi pengungkapan dan penceritaan kembali.

Seandainya Gus Dur bukan orang pesantren, dan tidak pernah mengembara di negara-negara Arab sehingga benar-benar mengenal tradisi kebahasaan dan kesastraan dengan penutur dan penuturan asli pemilik bahasa (native speaker, ummul lughah), mungkin humor-humornya akan kering dan penuh pengulangan-pengulangan yang membosankan.

Sayang, ia keburu wafat (30 Desember 2009), sebelum sempat mencetak kader tukang humor yang punya gaya bicara menarik dan punya bahan-bahan melimpah. Sehingga jaringan lintas kultural pesantren-literatur Arab-dan penyampainya kemungkinan akan terputus.***

* H. Usep Romli H.M., peminat literatur Arab, tinggal di perdesaan Cibiuk, Kab. Garut.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 10 Januari 2010

http://cabiklunik.blogspot.com/2010/01/humor-pesantren-dan-gus-dur.html

NU dan Tantangan Menjelang Satu Abad

Nahdlatul Ulama (NU), adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan pada 31 Januari 1926 (16 Radjab 1344 H) oleh sejumlah kiai (ulama) di Surabaya, Jawa Timur. Organisasi ini sudah memberikan kontribusi dan perubahan yang besar pada negara, khususnya umat Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Promotor berdirinya, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Doromuntaha (menantu KH. Cholil Bangkalan). Pendiri utamanya adalah Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari.

Menjelang berdirinya pada 1926, para ulama NU membentuk Komite Hijaz, yang hasilnya benar-benar mampu mewarnai dunia Islam, khususnya bagi kalangan pesantren. NU didirikan bertujuan melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dengan menganut Imam Madzhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Imam Ibn Hambal.

Sampai saat ini, NU telah melewati beberapa fase. Fase ini dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, NU didirikan sampai NU menjadi partai poltik. Fase kedua, NU keluar dari Majelis Syura Muslim Indonesia (Masyumi) dan menjadi partai politik sampai keluar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fase ketiga, NU menjadi gerakan sosial-keagamaan dengan sebutan kembali ke Khittah NU 1926.

Buku ini menjelaskan beberapa persoalan yang terjadi di kalangan NU, mulai masalah sosial, politik, khususnya dalam masalah ekonomi warga NU. Buku ini juga memaparkan berbagai rintangan dan hambatan warga NU menjelang satu abad. Kini, NU telah berumur 82 tahun. Umur NU akan menjadi satu abad, tepatnya pada 31 Januari 2026.

Menjelang satu abad pada 2026 nanti, tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan bagi organisasi terbesar ini. NU kini mempunyai banyak pekerjaan dan garapan yang harus diselesaikan. Sehingga nama NU tidak sekedar formalitas, tetapi benar-benar organisasi sosial-keagamaan yang berperan sebagai pengayom umat dan kalangan pesanten. Namun, kenyataannya, NU saat ini sepertinya sudah meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Khittah 1926. NU selalu ditarik pada ranah politik praktis. Maka, tidak salah jika NU selalu mendapat kritikan baik dari kalangan luar maupun dari warganya sendiri. NU saat ini sudah tidak lagi mengurus umat, melainkan selalu dibuat mainan para elit-elitnya, untuk kepentingan pribadi.

Selain itu, kritik-kritik muncul dari banyak kalangan muda yang tidak puas dengan kelambanan NU dalam merespon kondisi-kondisi sosial selama ini. Akibat ketidakpuasan itu, kalangan muda membentuk organisasi non-pemerintah (ornop). Munculnya ornop tentu saja juga merupakan bagian dari gelombang besar masyarakat sipil yang muncul sejak 1980-an dan juga hasil pencerahan yang dilakukan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Kritik-kritik itu juga muncul berkaitan dengan pentingnya NU memahami masalah-masalah global dan nasional yang kompleks. Kalangan muda sering mempertanyakan kualitas gerakan sosial-keagamaan NU yang dianggap berhenti di tingkat formal saja. Sementara, di tingkat praksis, dalam gerakan sosial, kualitasnya masih jauh dari apa yang diharapkan warga NU (hal. 32).

Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984, NU memasuki dunia baru. Sejak berdirinya sampai menjadi partai politik, akhirnya NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Peristiwa itu dinamakan kembali ke khittah. NU sudah lepas dan menjaga jarak dari politik praktis dan kembali ke format awal, yakni sebagai pengayom umat, mengurus dakwah, pendidikan dan pondok pesantren. Inilah salah satu tugas yang harus diperjuangkan NU ke depan. Perjuangan NU harus lebih banyak difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, dakwah, khususnya peningkatan ekonomi warganya.

Ada dua tantangan besar yang harus dihadapi NU menjelang satu abad nanti. Pertama, globalisasi dan neoliberalisme. Globalisasi dan neoliberalisme ini adalah ideologi lanjutan dari kapitalisme yang saat ini diadopsi sebagian besar negara-negara berkembang dan telah dipraktikkan negara-negara maju.

Kedua, munculnya kelompok-kelompok Islam yang berjenis lain dan tidak sealiran dengan NU, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Jama’ah Islamiyah. Mereka sepertinya mau merubah amaliah yang telah mentradisi di kalangan NU.

Sungguh menarik buku ini dijadikan bahan bacaan dan referensi bagi kalangan pesantren dan warga NU pada umumnya. Penulisnya mampu menjelaskan kondisi sosial warga NU, dari masalah politik hingga kondisi sosial-ekonominya.[]

*Peresensi Noviana Herliyanti, adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya Jawa Timur

(pmiikomfaksyahum.wordpress.com, 1 Juli 2008)
http://www.wahidinstitute.org/Resensi/Detail/?id=23/hl=id/NU_Dan_Tantangan_Menjelang_Satu_Abad

Post-tradisionalisme Islam dan Tradisi NU

Post-tradisionalisme Islam dan Tradisi NU

Oleh Ahmad Suaedy *
Ketika mendeskripsikan elan di balik kembalinya NU ke Khittah 1926 yang dicetuskan pada Muktamar ke-27 di Situnbondo 1984, Prof. Martin van Bruinessen, pengamat Islam asal Belanda menyatakan bahwa, di saat gerakan-gerakan Islam di hampir seluruh dunia mendeklarasikan kembali kepada Al-Quran dan Hadits -ada semacam “demam Alquran dan Hadits”- sebagai basis perjuangannya, maka kalangan NU justru kembali ke Khittah (garis perjuangan) NU sendiri tahun 1926.
Postra

Begitu jauhnya rentang tradisi yang diusung oleh gerakan-gerakan Islam lain yang umumnya mengklaim diri sebagai gerakan modern, mendekati 14 abad jauhnya. Maka komunitas pesantren atau NU hanya menoleh pada tradisi yang sangat pendek dibandingkan dengan rentang tradisi kelompok lain, yaitu hanya sekitar setengah abad saja. Ini pun sepintas tidak ada kaitannya dengan awal berdirinya Islam, karena sepenuhnya dalam konteks Indonesia. Indonesia di tahun 1926.

Saya kira, Martin dalam tulisannya itu sedang mencoba mendefinisikan basis tradisi yang dibangun oleh gerakan NU yang berbasis pesantren ini. Dari sini jelas dimana perbedaan NU dengan gerakan-gerakan Islam lain, yaitu definisi tentang tradisi yang dimilikinya. Meskipun NU jelas sebagai organisasi keagamaan Islam, dan mendeklarasikan sebagai “Islam ala ahlussunnah wal jamaah,” tetapi ciri keislaman itu tetap berkonteks Indonesia, tempat gerakan NU dibangun dan berlangsung.

Beberapa konteks
Ada beberapa konteks di tahun-tahun 1920an ketika NU didirikan. Secara eksternal, di satu pihak sedang terjadi pergolakan nasionalisme Indonesia untuk merdeka dari penjajahan, dimana gerakan-gerakan Islam, termasuk kalangan pesantren, ikut terlibat di dalamnya. Di sisi lain, sedang terjadi arus wahabisme dan arabisme yang kuat berkaitan terjadi rivalitas antara raja Ibn Saud di Saudi Arabia dan Raja Faruq di Mesir untuk memperebutkan kepemimpinan dunia Islam menggantikan Turki Utsmani yang runtuh akibat agresi Barat ke dunia Timur.

Raja Saudi yang berhaluan wahaby tidak hanya hendak menarik Islam di seluruh dunia untuk ikut dalam barisannya melainkan juga menyebarkan teror intensif terhadap tradisi Islam lokal atau Islam tradisional, seperti terjadi di Saudi sendiri dengan memberantas Islam tradisional, seperti gerakan tasawuf dan tarekat, bermazhab serta tradisi lokal lainnya. Karena itulah Saudi menanamkan gerakan Islam khas wahaby di Indonesia dengan misi memberantas apa yang ketika itu terkenal dengan TBC (Tahayyul, Bid’ah dan Churofat). Praktis, tradisi Islam lokal atau Islam tradisional Indonesia yang berbasis di pesantren dan para ulama atau kiai lokal menjadi sasaran para misionaris wahabisme tersebut.

Ketika kerajaan Saudi mengadakan Konferensi Internasional untuk mengukuhkan kepemimpinan internasionalnya itu, Islam tradisional yang berbabis pesantren tidak diikutkan karena dianggap tidak sealiran dengan wahaby atau lebih terus terang, sesungguhnya tradisi yang berbasis Indonesia dianggap Islamnya tidak sempurna sebagaimana wahaby. Hanya jaringan Wahaby Indonesia yang diundang dalam konferensi itu. Inilah yang mendorong Islam tradisional mengorganisir diri yang kemudian menjadi –dulu-- Nahdlatul Oelama (NO).

Di sini lain, secara internal, sebagaimana dipresentasikan oleh Gus Dur sebagai “subkultur,” maka Islam pesantren atau Islam tradisional memiliki cirinya sendiri, terutama dalam lingkungan sosial dan struktur masyarakat pesantren, serta nilai-nilai moralitas yang bersumber terutama dari kitab kuning, dan juga metodologi dalam analisis atas realitas untuk merespon perubahan. Inilah yang menjadi ukuran seluruh respon kalangan pesantren dan NU terhadap perubahan sosial dan politik di luarnya. Karena itulah, tidak heran jika NU memiliki ciri tersendiri dalam berbagai momen sejarah dalam rangka menanggapi perubahan sosial tersebut.

Tidak heran pula, jika para pengkaji ilmu politik yang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang tradisi pesantren dan NU, kehilangan orientasi dan frustasi ketika melihat respon NU terhadap perubahan sosial ini, karena tidak mengikuti pola baku dalam ilmu politik. Dalam psikologi seperti itulah, saya kira ketika Dr. Bachtiar Effendy dalam disertasinya mendefinisikan pola NU merespon perubahan sosial politik ini dengan mengatakan bahwa NU dikatakannya sebagai oportunis, hanya karena tidak ada standar baku ilmu politik untuk mengategorikannya.

Kosmologi
Dalam kosmologi NU dan pesantren, berbeda dengan gerakan Islam lain, boleh saya katakan bahwa pusat Islam bukanlah Timur Tengah atau apalagi Saudi Arabia, melainkan Indonesia atau Jawa. Sumber-sumber nilai dan pengetahuan seperti kitab kuning baru berbunyi dalam realitas sosial setelah ditempatkan dalam konteks Indonesia. Jadi, secara historis NU tidak pernah menjadi “sub” dari gerakan Islam di Timur Tengah atau dimanapun di dunia.

Hendak dikatakan di sini bahwa tradisi dalam NU dan pesantren tidak bisa disamakan begitu saja dengan tradisi gerakan Islam lainnya di belahan dunia lain, bahkan dalam gerakan Islam yang menyebut diri ahlusunnah wal jamaah sekali pun, termasuk di Indonesia. Sehingga istilah “post-tradisionalisme Islam” dalam disertasi Dr. Rumadi ini, menurut saya, harus serta merta dilihat dalam tradisi atau tradisionalisme NU dan pesantren, dan bukan tradisionalisme Islam di tempat atau organisasi lain.

Kritik Gus Dur dalam buku ini terhadap istilah post-tradisionalisme Islam yang digunakan di dalam buku ini, di satu pihak masuk akal karena post-tradisionalisme Islam memberi berbagai kemungkinan dan tidak hanya dalam pengertian kritik terhadap tradisi0nalisme itu sendiri, melainkan bisa, meminjam istilah Gus Dur sendiri di dalam tulisannya yang lain, berupa “retradisionalisme”. Artinya terjadi pengukuhan lebih keras dan sempit terhadap tradisionalisme itu sendiri. Jadi, tesis maupun antitesisnya bisa diberi julukan sama.

Namun, Dr. Rumadi dalam buku ini telah mengambil sikap sejak awal atas istilah yang dipakainya, yaitu dalam bahasa saya sendiri, sebuah gerakan pencarian pemikiran progresif atas perubaahn sosial yang berbasis pada tradisi pesantren dan NU yang dimilikinya. Dengan demikian munculnya kemungkinan lain dari kritik Gus Dur harus diberi istilah lain, mungkin lebih tepat “retradisionalisme” atau “retradisionalisasi” dan bukan “post-tradisionalisme.”

Nasionalisme
Dengan latar belakang demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa lahirnya gerakan NU merupakan bagian dari pergulatan nasionalisme Indonesia, yaitu kemerdekaan negara republik Indonesia dari penjajahan dan terbangunnya bangsa Indonesia. Bersamaan dengan itu juga terbangun semacam definisi hubungan agama, bangsa dan negara dalam Islam khas NU. Seluruh definisi tersebut bisa dikaji dalam dinamika komunitas tradisional pesantren dan NU dalam merespon dinamika sosial politik ketika itu dan bukan hanya justeru dari karya-karya intelektual aktivis NU semata.

Dari kajian itu, misalnya, ditemukan bagaimana komunitas NU mendefinisikan kekuasaan, negara dan bangsa. Menurut catatan Andrēe Feillard, pada Muktamar NU tahun 1938 di Menes, Banten, ada dua pertanyaan searah yang jawabannya saling kontradiksi. Pertanyaan pertama adalah bahwa penjajah Belanda menawari NU untuk masuk menjadi anggota Volskraad, dengan itu maka NU akan menjadi bagian dari struktur kekuasaan dan pemerintahan Belanda di Hindia-Belanda. Namun ketika diadakan voting, hasilnya 54 menolak dan 4 setuju masuk Volksraad. Jadi NU menolak masuk lembaga perwakilan rakyat versi penjajah itu.

Pertanyaan kedua adalah, apakah Hindia-Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar? Jawabannya adalah wajib karena Hindia-Belanda, menurut hasil Muktamar itu, merupakan dar al-islam. Yaitu, kawasan yang mayoritas penduduknya pemeluk Islam, pernah dikuasai kerajaan-kerajaan Islam dan umat Islam tidak dibatasi dan dilarang untuk menjalankan ibadahnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa, keikutsertaan NU dalam Volksraad adalah masalah politik dan kekuasaan, oleh karena itu bisa ditolak dan bisa juga diterima seandainya hasil voting itu menghasilkan sebaliknya. Tetapi masalah kawasan Hindia-Blanda adalah masalah negara dan bangsa, karena itu harus dipertahankan dengan basis argumen Islam.

Dalam konteks inilah bisa dipahami ketika KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar PBNU mengeluarkan fatwa “resolusi jihad”pada tahun 1945 yang mewajibkan kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai wajib ‘ain dalam jarak tertentu dari Surabaya yang sedang berperang untuk mempertahankan kemerdekaan. Dari fakta demikian, tidak heran pula jika komunitas NU tampak lebih bisa menerima penjajah Balanda dalam konteks negara-bangsa ketimbang Islam aliran wahaby yang terus menerus menghardik mereka dengan tuduhan musyrik, kafir dan TBC yang merupakan semacam pemaksaan arabisasi.

Hendak diberi catatan atas disertasi ini bahwa keterkaitan yang erat antara berdirinya NU dan proses terbangunnya negara-bangsa Indonesia, maka pergulatan itu pun menjadi bagian dari tradisi NU itu sendiri. Artinya gugatan Gus Dur atas disertasi ini mengenai kenyataan historis pergulatan kaum santri dan komunitas lain dalam dinamika sosial politik di awal-awal kebangkitan nasionalisme Indonesia itu semestinya menjadi bagian dari kajian post-tradisionalisme Islam dalam komunitas NU juga. Meski demikian, sebagai sebuah disertasi, bisa dipahami bahwa pembatasan atas rentang waktu dan luasan kajian harus dilakukan oleh Dr. Rumadi. Topik itu mungkin akan menjadi kajian tersendiri nantinya.

Evolusi
Begitu juga topik-topik yang menjadi perhatian gerakan pemikiran post-tradisionalisme tidak terlepas dari perubahan yang sedang terjadi pada level negara dan bangsa Indonesia. Jika kita kaji lebih mendalam maka kajian-kajian topikal itu memiliki konteksnya masing-masing. Kajian tentang demokrasi, civil society dan HAM, mislanya, lebih banyak berkembang di masa otoritarianisme Orde Baru, dan bahkan ketika itu dilakukan secara “undergorund.” Sementara saat ini, topik-topik itu lebih menjadi gerakan praksis ketimbang sebagai gerakan pemikiran.

Sementara masalah hak-hak perempuan, korupsi, dan hak-hak minoritas muncul menjadi pergulatan intensif saat ini, sehubungan dengan kian derasnya arus fundamentalisme yang anti kesetaraan perempuan dan anti pluralisme dan multikulturalisme serta maraknya korupsi sejak Orde Baru. Dengan kata lain, evolusi pemikiran psot-tradisionalisme Islam mengikuti arus perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Karena itu, sesungguhnya di luar itu semua, masih ada sejumlah isu yang belum terangkum dalam disertasi ini, misalnya gerakan tentang pertanian, lingkungan, pengelolaan seumber daya alam dan tradisi lokal. Semua ini menanti sebuah karya lanjutan berikutnya.[]

*Direktur Eksekutif the WAHID Institute Jakarta.

Penulis: Dr. Rumadi
Halaman: 382+ XVIII
Penerbit: Fahmina Institute, 2008

http://www.wahidinstitute.org/Resensi/Detail/?id=15/hl=id/Post-tradisionalisme_Islam_Dan_Tradisi_NU

Meneladani warisan Gus Dur

Meneladani warisan Gus Dur
Submitted by admin on Mon, 01/04/2010 - 00:00

Bisnis Indonesia
Opini

Meneladani warisan Gus Dur

Mengelola perbedaan untuk kemajuan
OLEH ISMATILLAH A. NUAD Associate Researcher Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina. We should not force our own Interpretation upon others - Gus Dur, 1940-2009 Kita t.k perlu memaksakan tafsir kita supaya orang lain mengikutinya. Itulah petikan pernyataan KH

Abdurrahman Wahid atau populer dengan panggilan Cus Dur saat diwawancara media internasional menyangkut adanya kekerasan agama yang pernah menghiasi bangsa Indonesia. Gus Dur kini telah kembali ke haribaan Ilahi di usia 69 tahun. Tokoh besar NU dan mantan presiden ke-4 RI ini memiliki prisma pemikiran, tak hanya ahli dalam bidang agama hingga disebut tokoh pluralis, tetapi juga ulama yang menghayati politik, pengamat seni, budayawan sekaligus pencinta sepak bola. Pada 1999, penerbit buku LK1S mendokumentasikan berbagai pemikiran Gus Dur dalam buku berjudul Prisma Pemikiran Gus Dur.

Memahami sosok pemikiran Gus Dur memang sangat kompleks. Karena itulah sebagian orang menilai bahwa bangsa Indonesia belum siap menerima kepemimpinan Gus Dur ketika beliau dimandat sebagai Presiden RI pada 1999. Itulah sebabnya, kebijakan dan pendapat Gus Dur dianggap kontroversial oleh kalangan awam.

Meskipun di kalangan intelektual maupun akademisi, kebijakan dan pendapat Gus Dur sebenarnya hal yang sangat wajar dan adaptif dengan fakta serta kondisi bangsa ini. Misalnya, kebijakan meniadakan sekat-sekat perbedaan
antara kaum mayoritas dan minoritas, yang diimplementasikan dengan penghapusan Kepres No. 56 yang selama masa Orde Baru membelenggu warga Tionghoa. Atau pendapatnya mengenai pluralisme agama, yang menurutnya perbedaan tidak seharusnya disikapi dengan kekerasan fisik.

Meski Gus Dur hanya dua tahun berkuasa, sebuah masa yang paling singkat dalam sejarah kekuasaan di Indonesia, telah banyak jasa yang ditorehkan. Selain soal memperlakukan adanya perbedaan dalam tubuh bangsa ini, Gus Dur juga telah menanamkan prinsip berdemokrasi seperti mengembalikan Dwi Fungsi ABRI atau militer harus kembali ke barak, pemisahan TNI-Polri, kebebasan pers dan berpendapat.

Tidak ketinggalan, warisan penting seperti desakralisasi kekuasaan Presiden juga digagas oleh Gus Dur. Lewat kepemimpinannya, institusi kepresidenan tak lagi sakral, bahkan rakyat biasa pun yang memakai sendal jepit boleh memasuki Istana Presiden untuk pengajian.

Mungkin hanya sekali sepanjang sejarah Indonesia, di mana istana kepresidenan bisa menjadi tempat pengajian bagi masyarakat umum. Hal ini dapat dipahami, karena Gus Dur terlahir dan dibesarkan dalam tradisi pesantren yang sangat kental. Di kalangan NU, Gus Dur dianggap sebagai pewaris tahta, bukan cuma karena dia keturunan kodrat al-Syaikh KH Hasyim Asyari, melainkan juga karena penghormatan warga nahdiyin selama ini terhadap integritas keilmuwan Gus Dur serta pembelaan-
nya terhadap kaum minoritas (Barton, 2001).

Gus Dur tak hanya seorang intelektual, tetapi juga lebih dari itu, beliau adalah intelektual publik yang membumi untuk dibedakan dengan intelektual kampus yang terkesan soliter. Dalam bahasa lain, Cus Dur adalah seorang mufakir jamahir atau pemikir yang memiliki massa fanatik, sama halnya seperti cendekiawan dan tokoh Revolusi Iran Ali Syariati atau Rachid Ghannuci intelektual dan tokoh politik dari Syiria.

Memang, pada akhir hayatnya, beliau terkesan terjerumus dalam politik PKB. Setidaknya selama paruh akhir dekade 90-an, Gus Dur memang terlalu menjerumuskan diri dalam dunia politik praktis. Risiko utama yang harus dibayar jika seorang masuk dalam politik praktis, apakah dia seorang intelektual, akademisi atau ulama, akan menjadi profan. Sementara itu, jika seorang intelektual, akademisi atau ulama, tak masuk dalam politik praktis, kesaksiannya dimata publik akan tetap tenaga. Kesan itulah yang ditangkap publik awam.

Membangun mitos Awalnya, Gus Dur sudah berhasil memosisikan diri sebagai tokoh sakral dalam wilayah NU khususnya. Sebuah kesakralan yang awalnya dibangun dari mitos-mitos. Misalnya, bahwa Gus Dur masih ada keturunan dengan Joko Tingkir (pahlawan legendaris dalam kisah masyarakat Jawa), atau bahwa dia bisa berhubungan dengan jin, dan mitos lain yang muncul (atau dimunculkan).

Semua mitos tersebut membawa konsekuensi logis, di mana Gus Dur akhirnya menjadi sakral di mata warga nahdiyin. Itulah sebabnya, dalam dekade sebelum paruh akhir 90-an, misalnya, mencium tangan kiai (seperti Gus Dur) atau meminum air di gelas bekas seorang kiai, diyakini warga nahdiyin sebagai barokah (Najib, 2002). Jika hal itu dilakukan seorang santri, dia berpotensi mendapat makrifat atau

kepintaran supranatur-al karena mendapat barokah, dan cerita miring lain yang selama ini berkembang dalam tradisi NU. Kesan persaingannya dengan anak-anak muda NU yang berpolitik di PKB seperti Syaifullah Yusuf, Muhaimin Iskandar dan sebagainya, di sebagian kalangan menganggap Gus Dur semakin kerdil ketika memasuki persaingan itu. Padahal, anak-anak muda NU tersebut dibesarkan sendiri oleh Gus Dur. Bagaimanapun, mereka anak-anak asuh Gus Dur, kebesaran mereka kini tak lain karena bayang-bayang serta pengaruh Gus Dur.

Dari sini kita bertanya-tanya, apakah situasi itu sengaja diciptakan Gus Dur? Artinya, Gus Dur sengaja mempersiapkan kader-kader yang kelak akan mengkritik dan beroposisi dengan beliau. Sebab, mantan Gubernur DKI Ali Sadikin juga pernah menciptakan iklim seperti itu ketika mendirikan LBH Jakarta. Saat Ali Sadikin masih menjabat Gubernur, salah satu yang mendanai LBH adalah Ali Sadikin. Namun, apa yang terjadi, LBH Jakarta justru banyak mengkritik kebijakan-kebijakan Ali Sadikin yang kurang pro rakyat. Itu penting dilakukan, supaya ada kontrol kekuasaan, meskipun yang mengontrol itu didanai sendiri oleh orang yang menjadi bahan kritik. Kesan itulah yang juga muncul ketika melihat Gus Dur yang beroposisi dengan anak-anak muda NU asuhannya yang berpolitik.

Lepas dari semuanya, Gus Dur bagaimanapun telah memberikan warisan atau teladan yang sangat mulia dan berharga bagi bangsa Indonesia, bukan saja untuk warga nahdliyyin. Yakni bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah negara-bangsa.

Fakta bahwa bangsa ini memiliki banyak perbedaan, tak hanya perbedaan agama, keyakinan dan pemikiran, tapi juga etnis dan suku. Warisan Gus Dur yang paling utama ialah bagaimana mengelola perbedaan tersebut untuk kemajuan, bukan untuk peperangan dan konflik.

Selama ini Gus Dur selalu berada di garis terdepan [avant garde) jika ada kaum minoritas ditindas oleh kesewenang-wenangan mayoritas, rakyat jelata tidak mendapatkan keadilan-nya. Karena itulah, akan sangat disayangkan jika perjuangan Gus Dur selama masa hidupnya itu akan dicederai lagi oleh pihak atau kekuatan tertentu yang tidak bertanggung jawab untuk kembali memperkeruh keadaan.

Tugas Gus Dur telah selesai, kini tinggal kaum muda yang akan melanjutkan perjuangannya yang mungkin masih tersisa. Selamat jalan Gus, selamat kembali ke haribaan Tuhan yang satu! Wallalmalam.

http://bataviase.co.id/node/35683