KH.ABDUR RAHMAN WAHID

KH ABDUR RAHMAN WAHID YANG BIASA DISAPA GUSDUR ADALAH TOKOH NASIONAL DENGAN BERBAGAI PREDIKAT - SEBAGAI ULAMA BESAR, BAPAK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA - BAPAK LSM - JURNALIS DAN BERBAGAI SEBUTAN LAINNYA

Senin, 11 Januari 2010

Dr. Rumadi dan Abd Moqsith Ghazali: Gus Dur Adalah Jendela, Garansi, Lokomotif

Dr. Rumadi dan Abd Moqsith Ghazali: Gus Dur Adalah Jendela, Garansi, Lokomotif Buku Gus Dur terbaru, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, yang pekan lalu diluncurkan 1/8), merekam konsistensi garis besar pemikiran dan sikap Gus Dur dalam soal-soal eagamaan dan kebangsaan. Gus Dur tetap kokoh di jalur keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Itulah setidaknya kesaksian dua intelektual muda NU, Dr. Rumadi dan Abd. Moqsith Ghazali kepada Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (21/9) lalu.
Dr. Rumadi dan Abd Moqsith Ghazali:
Gus Dur Adalah Jendela, Garansi, Lokomotif
Buku Gus Dur terbaru, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, yang pekan lalu diluncurkan (21/8), merekam konsistensi garis besar pemikiran dan sikap Gus Dur dalam soal-soal keagamaan dan kebangsaan. Gus Dur tetap kokoh di jalur keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Itulah setidaknya kesaksian dua intelektual muda NU, Dr. Rumadi dan Abd. Moqsith Ghazali kepada Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (21/9) lalu.
JIL: Mas Rumadi, buku yang memuat kolom-kolom Gus Dur setelah lengser dari kursi kepresidenansudah terbit kemarin. Sebagai salah seorang editornya, apa yang dimaksud Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita, yang dijadikan judulnya itu?
Rumadi: Oh, itu diambil dari salah satu judul tulisan Gus Dur yang ada di dalam buku itu. Judul tulisan itu sebenarnya menggambarkan pusaran utama keseluruhan pemikiran Gus Dur yang ada di dalam buku itu. Kalau dilihat mendetail, memang banyak sekali hal-hal yang dibicarakan Gus Dur, sejak soal Islam dan ketatanegaraan, sampai responnya terhadap masalah-masalah kontemporer seperti kasus Inul dan problem ekonomi global.
Esai dengan judul Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita, yang menjadi judul buku itu sebenarnya tidak panjang. Tapi dari esai itu kita menyadari bahwa Islam memang beragam. Ungkapan pribadi seseorang dalam berislam mungkin berbeda atau juga bertentangan dengan apa yang saya alami. Dari situlah kita dapat melihat adanya Islam yang aku pahami secara pribadi, dan Islam yang Anda pahami menurut Anda sendiri. Namun meski beragam, kita tetap Islam, dan disitulah mulai dikatakan soal Islam kita.
Jadi judul buku ini menggambarkan Islam yang warna-warni; meski Islamnya satu tapi masing-masing orang punya pemahaman berbeda-beda tentang Islam.
JIL: Mas Moqsith, dari telaah Anda atas tulisan-tulisan Gus Dur, apakah keragaman Islam itu hanya ditunjukkan dari sudut pandang sosiologis-antropologis saja, atau juga dalam soal doktrin-teologisnya?
Moqsith: Saya kira, tidak hanya keragaman dari sisi sosiologis-antropologis yang sejak lama didengungkan Gus Dur. Kita tidak bisa mengelak bahwa di dalam soal doktrin, dalam tafsir keagamaan yang paling asasi pun kita tak mungkin bisa menunggal. Karena itu, ada Islamku, yakni Islam sebagai hasil penafsiran yang bersifat personal-individual dari seseorang; ada Islam Anda yang berdasarkan penafsiran Anda dan juga Islam kita, yang menjadi benang merah dari Islamku dan Islam Anda.
Menurut Gus Dur, yang dinamakan Islam kita itu adalah prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang universal. Gus Dur sering mengutip al-Ghazali soal 5 prinsip dasar ajaran Islam. Pertama adalah soal kebebasan beragama. Gus Dur adalah orang kampung yang saya kira sangat konsisten melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Sebab minoritas agama, ras, dan sebagainya itu, merupakan bagian dari perwujudan tafsir atau pemahaman orang terhadap Islam. Menurut Gus Dur, mereka itu tidak bisa dihancurkan.
Di samping kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan aspek-aspek kebebasan lain juga terus-menerus didengungkan Gus Dur. Bagi saya, Gus Dur telah memberi injeksi moral agama ke dalam isu-isu yang dianggap bersifat profan sekalipun. Dia bicara HAM, demokrasi, pluralisme, dan sebagainya.
JIL: Apa soal baru yang buku ini, Mas Rumadi ?
Rumadi: Bagi saya, yang perlu dari buku ini bukan soal baru atau tidaknya, tapi justru kesaksian akan konsistensi Gus Dur dalam pikiran-pikiran yang sejak lama ia usung. Saya belum pernah melihat pemikir Indonesia yang begitu konsisten membela prinsip-prinsip yang ia pegang teguh sebagaimana Gus Dur. Buah pikirannya bukan hanya diwacanakan dalam bentuk tulisan lalu diseminarkan dlsb., tapi juga diwujudkannya dengan aksi. Lihatnya bagaimana kukuhnya Gus Dur berpegang pada prinsip anti-diskriminasi. Bukan hanya menulis, dia benar-benar memperjuangkan prinsip itu dalam aksi nyata.
Juga konsistensinya dalam pembelaan terhadap pluralitas. Dia tetap melakukan itu meski dianggap kerja yang tidak populer dan dipandang kontroversial. Tapi dia tetap lakukan pembelaan. Dalam soal pembelaan atas pluralitas, saya tidak pernah melihat orang sekonsisten Gus Dur. Aktivismenya juga merupakan cerminan dari apa yang ia pikirkan.
JIL: Mas Moqsith, Anda melihat konsistensi dan kesinambungan dalam gagasan-gagasan keislaman Gus Dur, atau justru melihat titik-titik kisar perubahan paradigma berpikir?
Moqsith: Saya pertama-tama melihat Gus Dur sebagai sosok santri, dan santri itu dididik berpikir secara plural oleh tradisi fikih. Sebab, tak mungkin ada pandangan yang tunggal di dalam fikih. Karena itu, orang yang ahli fikih seperti Gus Dur, tak mungkin menganut satu konsep kebenaran absolut. Itulah saya kira yang pertama kali mendidik Gus Dur untuk tidak memutlakkan pandangannya sendiri. Di samping fikih, dia juga banyak belajar ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, dan filsafat. Dia juga pembaca sastra yang baik. Karena itu, medan perhatian Gus Dur terhadap ilmu pengetahuan amatlah luas.
Nah, di sinilah ia berbeda dengan tokoh Indonesia lainnya seperti Prof. Syafi’i Ma’arif atau Buya Syafii. Buya bukanlah pembaca buku dengan dimensi yang sangat luas. Buya terutama adalah seorang sejarawan dan mungkin juga pembaca buku-buku keislaman yang cukup luas. Tapi bacaan Gus Dur memang luar biasa, bukan hanya fikih, tapi juga fasih bicara sastra. Ketika masih SMP dan SMA dulu, saya juga sering melihat Gus Dur sebagai pengamat sepakbola. Ini menunjukkan bahwa perhatian Gus Dur terhadap banyak dimensi kehidupan sangat besar sekali.
JIL: Selain soal minat bacaan, apa perbedaan lainnya dengan sosok Buya Syafii yang beberapa bulan lalu juga meluncurkan otobiografinya yang memikat?
Moqsith: Mungkin yang juga berbeda adalah titik berangkatnya. Gus Dur bukanlah seorang ploretar, tapi datang dari kalangan aristokrat. Kakek dan bapaknya ibarat raja di dalam tradisi NU. Tapi anehnya, gagasan-gagasan Gus Dur itu potensial menghancurkan dirinya sendiri. Dari politik berwacana, itu sebenarnya merugikan. Tapi Gus Dur tetap melakukan itu. Gagasan-gagasannya seakan-akan ingin menghancurkan kelasnya sendiri. Dia kan seorang yang punya otoritas tinggi, tapi tiap hari ia seakan menghancurkan otoritasnya sendiri.
Itu dapat diamati dari pandangan-pandangan keagamaannya yang di kalangan para kyai cukup kontroversial. Kerja seperti itu, kalau tak hati-hati, tentu akan melenyapkan kharisma dan lain sebagainya. Tapi Gus Dur tidak peduli, ia tetap membuat perbedaan. Ia tetap konsisten menghadirkan sudut pandang yang berbeda dalam melihat banyak persoalan. Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiah, aliran kepercayaan, dan lain-lain, sudah konsisten ia lakukan sejak dulu dan sampai sekarang.
JIL: Mas Rumadi bisa menunjukkan konsistensi gagasan keislaman Gus Dur lebih rinci lagi?
Rumadi: Dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran Gus Dur, masa-masa awalnya memang tak lempang-lempang amat. Dia pernah mendukung gagasan-gagasan Ihkwanul Muslimin yang dianggapnya sebagai salah satu ptototipe Islam yang benar. Tapi setelah belajar tentang nasionalisme Arab dan sosialisme di Irak, dia mulai berubah pikiran. Selanjutnya, perubahan-perubahan itu terus terjadi, terkait dengan pengalaman hidup Gus Dur sendiri.
Setelah melihat kenyataan Islam Indonesia, dia menemukan ide-ide baru yang pelan-pelan mulai menggeser cara pandangnya yang lama. Sekarang, yang dia pegang adalah prinsip-prinsip dasar Islam yang disebutkan tadi. Tapi dia terlihat konsisten dalam prinsip dasar pemikirannya. Dalam aksi politik, ia memang sering agak sirkus dan zig-zag. Tapi prinsip-prinsip dasar pemikirannya terlalu jelas untuk dilihat. Tak ada sesuatu yang samara-samar atau kabur. Prinsip-prinsip dasar pemikiran Gus Dur menurut saya terlalu jelas.
JIL: Anda bisa merinci gagasan-gagasan keislaman apa yang paling penting dari Gus Dur?
Moqsith: Yang sangat popular tentu soal pribumisasi Islam. Ini adalah cara Gus Dur khususnya dan NU umumnya untuk menolak Arabisasi. Tapi ini juga bukan pikiran yang baru datang dari Gus Dur, karena sejak dulu para kyai pesantren sudah punya kecenderungan untuk menghadirkan jenis keislaman yang khas Indonesia, tanpa banyak dicampur unsur Arabisme. Jadi pribumisasi Islam itu hanya stempelnya saja. Gus Dur berjasa menteorikannya. Gus Dur telah memberi nama terhadap jenis perjuangan yang dilakukan oleh para ulama Indonesia sejak Walisongo sampai sekarang.
Gagasan Gus Dur yang sampai sekarang masih konsisten juga adalah aspek penolakannya terhadap negara Islam. Dia mungkin terpengaruh oleh buah pikiran Ali Abdul Raziq (ulama Mesir) yang mengatakan tidak adanya konsep negara Islam. Sampai sekarang, dengan pilihan itu, dia dicaci-maki dan berhadapan dengan banyak orang.
Salah satu pemikiran Gus Dur yang sudah cukup jelas juga adalah visi kebangsaannya. Visi kebangsaan itu berulang kali dia tuangkan dalam ungkapan bahwa tidak ada ajaran Islam yang mengharuskan untuk menegakkan negara Islam. Itu berulangkali dia katakan. Dia juga sering mengatakan, ”Meski saya Islam dan mayoritas orang Indonesia itu beragama Islam, tidak terbesit sedikit pun di pikiran saya untuk mendominasi Indonesia ini atas nama Islam.” Gus Dur juga seringkali mengatakan bahwa yang ia perjuangkan adalah Islam berwatak kultural, bukan Islam yang selalu ingin tampil di kelembagaan politik. Prinsip itu diwujudkannya dengan cara membentuk partai politik yang bervisi kebangsaan.
Saya kira itu pikiran-pikiran dasar Gus Dur. Ia memang punya perhatian besar terhadap isu-isu politik, persoalan pluralisme dan sebagainya. Tapi yang tidak dilakukan Gus Dur adalah menulis secara serius pandangannya tentang perempuan. Saya kira, pada aspek itu ada kemiripan antara Gus Dur dengan almarhum Cak Nur.
JIL: Bisa lebih detil tentang sejarah penyikapan NU atas perjuangan politik yang menginginkan negara Islam di Indonesia?
Rumadi: Pada masa awalnya, tahun 1945--1955, NU berada dalam blok atau kelompok yang memperjuangkan tegaknya Islam sebagai dasar negara. Tapi di situ ada polemik antara Gus Dur dan adiknya, Gus Solah (Solahuddin Wahid). Gus Dur bilang, NU tidak mendukung Islam sebagai dasar negara, sementara Gus Solah bilang sebaliknya. Saya cenderung mengatakan bahwa NU pada mulanya berada dalam blok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.
Tapi sejarah tidak berjalan linier. Di tengah arus, ada masa ketika NU harus mengambil sikap tentang hidup bernegara. Itu secara jelas diproklamasikan di tahun 1984, dipelopoli langsung oleh Gus Dur. Di situ dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara kesatuan dengan Pancasila sebagai dasarnya, merupakan bentuk yang final bagi NU. Apakah pernyataan final itu cerminan keinginan jamaah NU, atau cerminan situasi ketika NU tidak bisa berkata lain, tentu akan diuji sendiri oleh sejarah.
Buktinya, dalam perkembangan belakang, ada saja beberapa kompenen NU yang tidak tahan akan godaan negara Islam. Itu bisa dibuktikan lewat kelompok-kelompok di dalam NU yang membuat partai dengan Islam sebagai asasnya. Bahkan dalam Muktamar NU tahun 1999, ada juga yang mengusulkan agar NU kembali ke asas Islam, meski suara itu akhirnya bisa dieliminasi. Saya kira, ini merupakan salah satu bentuk pergumulan pemikiran NU. Arus besarnya memang masih dikusai kalangan yang menginginkan NKRI. Tapi riak-riak yang menghendaki dan memimpikan adanya negara Islam tampaknya tak juga pernah mati di lingkungan NU.
JIL: Gus Dur pernah menulis tentang Islam sebagai faktor komplementer atau pelengkap Indonesia. Apakah gagasan seperti itu masih dianut mayoritas di NU atau sudah diganti menjadi Islam sebagai kekuatan hegemonik?
Moqsith: Gagasan Islam sebagai faktor komplementer itu saya kira bukan hanya dimiliki Gus Dur, karena kyai-kyai lain juga berpikir tentang hal yang sama. Dan sampai sekarang, saya kira gagasan itu masih cukup kuat. Itu dapat dibuktikan dari pandangan beberapa kyai, termasuk KH Sahal Mahfudz yang menolak formalisasi syariat Islam atau perda bernuansa syariah Islam. Gus Mus atau KH Mustofa Bisri juga seperti itu. Artinya mereka ingin menjadikan fikih sebagai dunia di dalam basis kulturalnya saja dan tidak masuk ke dalam institusi negara. Itu pandangan yang hampir merata di lingkungan kiay-kiay NU. Kyai Sahal telah menolak fikih dijadikan hukum positif negara, tetapi menerimanya sebagai etika sosial. Karena itu, keterlibatan Islam di dalam negara yang majemuk ini tidak bisa dalam format ingin mendominasi dan menjadi satu-satunya faktor penentu. Ia hanya menjadi unsur komplementer saja…
JIL: Sebagai generasi muda NU, seberapa jauh pikiran-pikiran Gus Dur mempengaruhi Anda dan teman-teman?
Moqsith: Bagi saya, Gus Dur itu adalah jendela bagi warga NU. Melalui jendela itulah warga NU bisa mengintip, bisa melihat luasnya dunia luar. Keberhasilan Gus Dur terletak dalam cara dia menginspirasi anak-anak muda di pesantren. Lewat Gus Dur, anak-anak muda mulai belajar menulis dan berpikir secara kritis. Di tahun 1991, ada rumusan pentingnya melakukan kontekstualisasi pemahaman kitab kuning. Itu tidak terlepas dari upaya-upaya yang dilakukan generasi-generasi tua NU seperti Gus Dur, Masdar Farid Mas’udi, dan lain-lain. Saya kira di situ terletak peran yang sangat besar dari Gus Dur.
Yang kedua, dari segi gagasan, Gus Dur itu memang mumpuni, terlepas dia adalah seorang Gus, anak dari bapaknya dan cucu dari kakeknya yang mendirikan NU. Karena itu, ia memiliki otoritas sangat besar untuk melakukan perubahan-perubahan paradigmatik di lingkungan NU. Apa yang dilakukan Gus Dur akan gampang diamini anak-anak muda. Resistensi atas gagasan dan gerakannya pun tidak akan terlalu kuat ketimbang kalau dikatakan dan dilakukan orang lain. Jadi, keluar Gur Dur menjadi jendela, di dalam ia menjadi garansi bagai anak-anak muda. Kalau anak-anak muda dikritik para kyai, Gus Dur akan memberi penjelasan-penjelasan dengan menggunakan bahasa kyai, dlsb.
JIL: Anda optimistis atau pesimistis akan perkembangan intelektual anak-anak muda NU setelah Gus Dur?
Moqsith: Saya kira ke depan kita tak bisa lagi bersandar pada individu atau tokoh. Itu harus diakhiri. Apa yang dilakukan anak muda NU sekarang adalah institusionalisasi gagasan-gagasan Gus Dur. Itu sudah berkembang melalui lembaga-lembaga pendidikan alternatif yang dikembangkan sejumlah NGO/LSM di beberapa daerah. Kalau terus mengandalkan tokoh, sejumlah tokoh memiliki keterbatasan. Ketika Gus Dur menjadi politisi dalam pengertian yang sesungguhnya, susah mengikuti alur permainannya yang bagai sirkus.
Untungnya anak-anak muda NU mampu menentukan barometer: yang harus kita ikuti dari Gus Dur adalah Gus Dur yang makro, bukan Gus Dur yang mikro, seperti istilah almarhum Cak Nur. Gus Dur yang kulli bukan Gus Dur yang juz’i. Itu saya kira patokan yang baik bagi kita dalam melakukan gerakan perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat. Saya kira, gagasan-gagasan Gus Dur tetap relevan karena ia lebih banyak bukan gagasan yang tentatif. Pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam, saat ini makin relevan seiring makin maraknya orang berpikir tentang negara Islam dan mengintensifkan Arabisasi terhadap Islam.
JIL: Bagi Anda seperti apa kedudukan Gus Dur bagi generasi muda NU?
Gus Dur bukan hanya jendela tapi juga lokomotif. Di belakang Gus Dur terdapat banyak anak muda NU yang disebut progresif atau apapun namanya. Semaunaya tidak ada yang terlepas dari inspirasi Gus Dur. Tapi memang ke depan kita tidak bisa bersandar pada Gus Dur atau figur seorang tokoh. Tapi gagasan-gagasannya memang tetap perlu disosialisasikan, diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan yang lebih riil. []
Gus Dur Luncurkan Situs Pribadi
Jakarta, gusdur.net
Untuk menyampaikan berbagai gagasannya termasuk mengenai demokrasi dan humanisme kepada masyarakat luas, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meluncurkan situs pribadi.
Situs dengan nama domain www.gusdur.net itu, diluncurkan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2002 di hotel Acacia, Kramat raya, Sabtu, siang.

Menurut Alissa Rahman, putri pertama Gus Dur yang juga penanggung jawab situs tersebut, situs itu sebenarnya telah dibangun sejak Gus Dur masih menjabat Presiden. "Tetapi karena bapak dulu masih sibuk mengikuti perkembangan politik di Tanah Air, situs ini ditunda dulu peluncurannya," kata Alissa."Tujuannya untuk menyampaikan berbagai gagasan, pokok pikiran dan ide-ide bapak (Gus Dur) secara utuh, agar masyarakat mendapat akses langsung", kata Lisa- panggilan akrabnya.

Berbagai komentar Gus Dur selama ini, seringkali dianggap kontroversial, dan membuat banyak kejutan serta memancing berbagai komentar dari berbagai kalangan. Hal ini terjadi karena seringkali gagasan itu muncul melalui kutipan pers secara sepotong-sepotong, sehingga kurang dipahami oleh masyarakat.

Melalui situs ini, Gus Dur secara rutin akan menyampaikan gagasan-gagasan itu secara utuh, agar masyarakat memahami latar belakang maupun konteksnya. Berbagai pokok pikiran Gus Dur itu akan dihadirkan melalui rubrik "Memahami Gus Dur"

Ria Irawan dan Pengamen Jalanan
Tamu-tamu yang akan hadir dalam acara itu acara peluncuran website Gus Dur, dari berbagai kalangan, mulai mantan Menteri masa pemerintahannya, relasi, kalangan pers dan aktivis pro demokrasi.Dalam peresmian situs, juga diadakan obrolan santai dengan tema Gus Dur: Antara Sarung dan Internet. Sebagai pembicara adalah, Gus Dur sendiri, sineas, Garin Nugroho, penulis buku "Hari-hari Indonesia Gus Dur", Budiarto Tanudjaja, penulis "Dibalik Sarung Presiden Gus Dur", Luqman Hakiem, dan Sucipto Wirosardjono.Selain itu peluncuran website ini akan dimeriahkan oleh iringan lagu-lagu para musikus yang berasal dari pengamen jalanan dan anak-anak jalanan. Artis Ria Irawan dengan beberapa rekannya akan tampil membaca puisi.

Isi www.gusdur.net kebanyakan adalah berita seputar aktivitas dan ide-ide Gus Dur. Rubrik lain yang dapat disimak adalah Memahami Gus Dur (berbagai tulisan Gus Dur dari berbagai aspek), Biografi, Anekdot dan Joke (joke-joke yang selama ini sering dilontarkan Gus Dur), Kolom yang berisi artikel-artikel para pakar, Galery foto-foto Gus Dur dan berbagai artikel berbahasa Inggris. Dalam situs itu Gus Dur juga menyisipkan "Tanya Jawab", sebuah rubrik interaktif yang dapat digunakan masyarakat untuk berdialog langsung dengan dirinya.
SBY Dinilai Monopoli Jasad Gus Dur (Bahkan Khofifah Tak Boleh Masuk)

SBY dinilai berlebihan memberi penghormatan akhir pada Gus Dur. Protokoler begitu ketat, mengabaikan tradisi kaum Nahdliyin. Bahkan Khofifah Indar Parawansa, sahabat Gus Dur dan mantan menteri dalam kabinet Gus Dur ini ditolak masuk areal pemakaman. Pendeknya, Gus Dur mendadak jadi milik SBY, mulai dari RSCM, Ciganjur, sampai Jombang.
Menurut Adhie Massardi, yang selama sepuluh tahun terakhir mendamping Gus Dur, penghormatan yang diberikan pemerintah salah kaprah. Protokoler SBY telah membuat banyak santri dan kiai pendukung Gus Dur baik kehilangan kesempatan memberikan penghormatan terakhir dengan cara mereka.
“Pesantren dan kaum Nahdliyin memiliki tata cara sendiri dalam menghormati kiai yang meninggal dunia, termasuk Gus Dur. Protokoler yang berlebihan malah membuat banyak kiai dan santri teralienasi di rumah mereka sendiri. Banyak yang menyesalkan hal ini,” ujar Adhie kepada Rakyat Merdeka Online, (Jumat, 1/1).
Adhie ikut menghadiri pemakaman Gus Dur di Jombang. Tetapi menurutnya, dia dan sejumlah teman dekat Gus Dur semasa hidup, seperti Khofifah Indar Parawansa yang juga mantan menteri Kabinet Persatuan Nasional, dilarang memasuki areal pemakaman. Adhie menambahkan, sebagai mantan presiden Gus Dur memang berhak mendapatkan penghormatan dari negara. Tetapi di sisi lain, seharusnya Presiden SBY juga memahami local wisdom kaum Nahdliyin.
“Mereka ini nampak menguasai, mulai dari RSCM, Ciganjur sampai Jombang. Seakan-akan Gus Dur mendadak jadi milik Presiden SBY,” ujarnya lagi.
Di sisi lain, Adhie juga mengatakan bahwa yang harus dihormati bukan sekadar jasad Gus Dur, melainkan buah pikiran Gus Dur yang intinya adalah pengakuan prinsip pluralisme yang menjadi pondasi nasionalisme Indonesia, juga demokrasi yang dilandasi pada prinsip kesetaraan sesama warga negara.
“Kalau pemerintahan SBY-Boediono ini memang menghormati Gus Dur, mestinya mereka juga mau menciptakan pemerintahan yang bersih,” sambung Adhie.
Kepada masyarakat luas dia berpesan agar tidak meniru sikap pemerintah yang hanya menghormati jasad Gus Dur dan mengabaikan pikiran dan cita-cita Gus Dur. Ujung dari cita-cita Gus Dus, kata Adhie sekali lagi, adalah kesejahteraan rakyat.
Gus Dur yang Universal dan Partikular
Surabaya, wahidinstitute.org
Buku terbaru karya Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Islam Kosmopolitan, ramai didiskusikan. Kamis (8/11/2007) sore lalu misalnya, Komunitas Baca Surabaya (Kombas) bekerjasama dengan the WAHID Institute mendiskusikannya di ruang rektorat Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya Jawa Timur.
Buku terbitan the WAHID Institute tahun 2007 ini, didiskusikan oleh tiga intelektual muda NU pengagum sekaligus ‘titisan’ Gus Dur: Direktur Eksekutif the WAHID Institute Ahmad Suaedy, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DR. Rumadi dan Dosen Universitas Paramadina DR. Abdul Moqsith Ghazali. Dosen IAIN Sunan Ampel DR. Masdar Hilmy didaulat sebagai moderator. Sedang ratusan mahasiswa S1 dan S2 pascasarjana IAIN Sunan Ampel hadir sebagai peserta.
Dalam uraiannya, Ahmad Suaedy lebih banyak menyorot proses menjelang penerbitan buku yang dieditnya ini. Buku ini, katanya, berisi kumpulan tulisan Gus Dur antara tahun 1970 hingga 1980-an. “Pikiran Gus Dur begitu kaya dan tidak hanya bersumber pada Islam formal, tapi dari Jawa dan Barat. Jarang ada orang yang demikian,” ujarnya.
Buku ini, jelasnya, bermula dari pidato atau diskusi mantan Presiden itu yang ditranskrip, ketika di Institute Tehnologi Bandung (ITB). Masjid Salman dan ITB, kala itu sedang berada pada puncak ketenaran, karena menjadi kiblat pembaharuan pemikiran Islam. “Pidato Gus Dur tentang kosmopolitanisme Islam berawal dari situ,” terangnya.
Secara jujur, Suaedy mengagumi referensi yang digunakan Gus Dur dalam buku ini. “Ini luar biasa. Mulai dari novel abad pertengahan, referensi Barat, sampai referensi terbesar abad keemasan Islam,” jelasnya.
Lantas, apa sesungguhnya yang dimaksud kosmopolitanisme Islam oleh Gus Dur?
Suaedy yang memang dekat dengan Gus Dur, baik secara pribadi maupun intelektual, mencoba mengurai jawabnya. Dikatakannya, kosmopolitanisme Islam dalam konsepsi Gus Dur adalah situasi ketika pemikiran Islam begitu terbuka, baik untuk mengkritik maupun menerima pemikiran dari Barat dan yang lain.
“Bagi Gus Dur, puncak kosmopolitanisme Islam adalah ketika semua orang bebas mengekspresikan pikiran-pikirannya. Se-kontroversial apapun, pikiran harus diberi ruang berekspresi. Dan orang lain hanya boleh menanggapi dengan cara yang sama. Tidak boleh orang berfikir lantas ditangkap,” jelasnya.
“Dan pada saat yang sama, juga harus ada penghormatan terhadap kemanusiaan,” tambahnya.
Melihat gagasan-gagasan progresif Gus Dur yang belum sepenuhnya terejawantahkan dalam kenyataan, Suaedy berharap, muncul generasi-generasi baru yang akan meneruskan gagasan-gagasan itu. “Makanya perlu diciptakan Gus Dur-Gus Dur lokal,” katanya.
Rumadi, dalam uraiannya, menyorot cucu pendiri NU KH. M. Hasyim Asyari ini dari sisi keotentikannya sebagai seorang muslim. “Sejauh apapun melangkah, Gus Dur tetap dipandang sebagai muslim yang otentik. Tidak ada orang yang meragukan keislamannya,” katanya.
Karenanya, penulis buku Renungan Santri (Erlangga: 2007) ini setuju pada John L. Esposito yang menggelari Gus Dur sebagai ‘modern thinker but not moslem modernist’ (pemikir modern, tapi bukan muslim modernis). “Itu karena, antara lain, apapun yang dikatakan Gus Dur tidak pernah lepas dari akar tradisinya. Dalam memaknai kehidupan, umpamanya, ia selalu menggunakan basis tradisi yang dimilikinya,” terangnya.
Basis tradisi itu, ujar Rumadi, membuat Gus Dur tidak silau pada kemodernan, meskipun ia banyak menyerap berbagai macam pemikiran sebagaimana watak kosmopolitanisme Islam yang ingin ditunjukkannya. “Gus Dur selalu mendialogkan antara yang diserap dari dunia luar dengan tradisi yang dimiliki,” ujarnya.
Misalnya, karena banyak menelaah pikiran-pikiran modern, doktrin Aswaja (ahlus sunnah wal jamaah) di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) yang tradisional, itu di tangan Gus Dur menjadi sangat progresif. “Di tangan Gus Dur, Aswaja menjadi sangat dinamis dan menjadi alat untuk berdialog dengan realitas. Itulah cara Gus Dur keluar dari kesuntukan kehidupan,” urainya.
Dikatakan Rumadi, ‘daya cengkeram’ pemikiran Gus Dur yang berbasis tradisi itu begitu kuat bagi warga nahdliyyin. Karenanya, jika ada warga nahdliyyin yang berpikiran progresif, maka ia tidak bisa terlepas dari ‘cengkeraman’ Gus Dur. “Siapapun yang dianggap berani berfikir maju, pada saat yang sama ia mempunyai keterkaitan atau setidaknya memanfaatkan ruang yang dibuka Gus Dur,” ujarnya.
Namun demikian, Rumadi mengingatkan, saat ini adalah masa yang berat untuk mengembangkan pemikiran keagamaan progresif. “Kita perlu energi lebih besar ketimbang pada masa Gus Dur tahun 80-an. Apalagi kita nggak punya apa-apa. Orang kampung dan bukan anak kiai. Kalau sudah dicap sesat, kita akan masuk keranjang sampah,” jelas Rumadi yang menilai buku Islam Kosmopolitan sebagai ‘relatif tidak terkontaminasi oleh politik praktis’ dan ‘pemikiran keislamannya jernih’ ini.
Dua Wajah Gus Dur
Abdul Moqsith Ghazali, yang mengaku ‘terhipnotis sihir’ Gus Dur ketika masih di pesantren menyatakan, Gus Dur harus dikategorikan menjadi dua; Gus Dur yang partikular atau juz’i dan Gus Dur yang universal atau kulli.
“Kalau menggunakan bahasa orang pesantren, Gus Dur yanqasimu ila qismain; Gus Dur juz’iyyun wa Gus Dur kulliyyun,” ujarnya disambut tawa.
Gus Dur sebagai sesuatu yang partikular atau juz’i, kata Moqsith, betul-betul harus diperhatikan karena sifatnya yang mudah sekali berubah. “Sebagai praktisi politik misalnya, Gus Dur dituntut bergerak zig-zag. Karenanya, seringkali langkah Gus Dur sulit diikuti,” jelasnya.
Langkah partikular Gus Dur yang mudah berubah dan zig-zag itu, tamsil Moqsith, laksana definisi i’rab dalam kitab nahwu Jurumiyyah, yaitu al-i’rab huwa taghyir ahwal awakhir al-kalim li ikhtilaf al-‘awamil al-dakhilah ‘alaiha (i’rab adalah perubahan akhir kalimat, karena perbedaan faktor yang masuk pada kalimat itu).
“Gus Dur yang partikular atau juz’i, itu hanya pinggiran-pingiran atau ahwal awakhir al-kalim-nya saja yang berubah. Tapi Gus Dur yang universal atau kulli tidak pernah berubah,” jelasnya.
“Gus Dur yang kulli, misalnya, tidak akan pernah menawar menyangkut advokasinya pada isu-isu pluralisme, dukungan atau perhatiannya pada kelompok minoritas. Gus Dur yang kulli juga tidak akan pernah menimbang apakah langkahnya secara politik merugikan atau tidak,” imbuhnya.
Karena itu, harap Moqsith, kita jangan mudah terjebak dengan memperhatikan langkah Gus Dur yang partikular belaka. Yang harus diperhatikan, katanya, adalah yang ada di dalamnya, bukan yang ahwal awakhir al-kalim. “Jangan sampai Gus Dur yang kulli ini dikalahkan oleh Gus Dur yang juz’i. Itu harapan saya sebagai anak muda. Ini fatwa dari saya,” terangnya.
Dengan penyikapan demikian, aku Moqsith, dirinya tidak pernah gelisah atau gundah menatap sikap dan tindakan Gus Dur yang zig-zag tak bisa terdeteksi. “Itu nggak usah diperhatikan. Itu semata taghyir ahwal awakhir al-kalim li ikhtilaf al-‘awamil al-dakhilah ‘alaiha, karena perbedaan faktor yang masuk saja,” tandasnya.
Moqsith juga menguraikan kelebihan Gus Dur dibanding pembaharu-pembaharu lainnya, yaitu penguasaannya yang kuat pada khazanah Islam klasik. Disamping melakukan kritik terhadap sejumlah tradisi, kata Moqsith, Gus Dur juga tetap mempertahankan tradisi itu sebagai bangunan dasar untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran Islam.
“Misalnya melalui pendekatan fikih dan ushul fikih-nya, Gus Dur melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Ini jarang dipakai oleh Harun Nasution misalnya” ujarnya.
Terma hifdh al-din, satu diantara al-dharuriyyat al-khams (lima prinsip dasar) yang lumrah dikenal dalam fikih klasik, di tangan Gus Dur dimaknai sebagai ‘kekebasan beragama’. “Ini luar biasa. Hifdh al-‘aql yang biasanya dimaknai larangan meminum minuman keras, di tangan Gus Dur menjadi bermakna kebebasan berfikir dan berekpresi,” terangnya.
Karena alat ucapnya adalah tradisi, simpul Moqsith, maka pikiran-pikiran Gus Dur mudah mengalami penerjemahan pada tingkat praksis di lapangan. “Ini berbeda dengan pikiran Harun Nasution yang tidak menggunakan alat ucap tradisi. Resistensinya menjadi sangat tinggi,” katanya.
Kendati mengagumi Gus Dur, Moqsith tak sungkan dan tak canggung melancarkan kritik. Misalnya tentang isu-isu kesetaraan laki-laki perempuan yang sepi dari sorotan Gus Dur. “Padahal isu ini pada tahun 80-an sudah cukup seksi dibicarakan di lingkungan pembaharu Islam. Namun Gus Dur, termasuk Cak Nur, mengambil posisi untuk tidak membicarakannya sebagai bagian dari agenda pembaharuannya. Mungkin mereka sengaja,” katanya.
“Dugaan saya, kalau mengambil isu ini mereka akan menghadapi tembok besar para kiai. Tradisi selir dan poligami yang bersemayam di dalam masyarakat Jawa, itu agak sulit dihancurkan oleh orang-orang dalam pesantren sendiri. Tapi pelan-pelan, anak mudanya sekarang mulai melakukan pembaharuan pemikiran Islam dari perspektif perempuan. Ini kelanjutan para mentornya saja,” imbuhnya.
Gus Dur, ujar Moqsith, juga jarang sekali berbicara isu-isu yang detail, semisal hukum menonton VCD porno dan sebagainya. “Padahal itu menarik. Fikih klasik itu sangat kaya. Kita bisa menemukan jawaban apa saja. Tidak ada satu pandangan yang tunggal di dalamnya,” pungkasnya.[nuha]
Gus Dur, Manusia Diatas Manusia
Masih ingat di memory kita, bagaimana seorang Gus Dur menyikapi setiap peristiwa yang dialami anak negeri ini, mulai isu tukang pijit hingga kasus ngebornya Inul Daratista, mulai yang ringan hingga masalah pelik, semua diselesaikan dengan enteng, dengan gaya khasnya "gitu saja ko' repot !"Gus Dur adalah sosok Gus yang melebihi Gus itu sendiri, analisa masalah yang sering dilontarkan bukannya sengaja dibuat kontroversi agar menjadi sebuah isu tenar dan populis, melainkan benar-benar pemahaman kehidupan yang hakiki, beliau sudah mempunyai pemahaman yang tidak dipahami oleh kebanyakan manusia.
Saya tidak bermaksud untuk mengkultuskan sosok individu dari seorang Gus Dur, beliau tetap sama dengan kita, manusia biasa yang suka dengan makanan, humor, politik dan semua pernak-pernik peri kemanusiaan. Yang membedakan adalah ilham beliau tentang kehidupan ini, baik dunia maupun akhirat.Gus Dur telah menyederhanakan teori kehidupan, mempemudah jalan kehidupan, menjadi sosok panutan ummat. Disaat para Ustadz dan Kyai sibuk melakukan Poligami, beliau cukuplah satu. Disaat semua orang mengutuk Israil, Gus Dur malah berkunjung ke negerinya kala itu, disaat semua negara menghujat Israil karena melakukan penyerangan ke Gaza, lagi-lagi Gus Dur menjelentrehkan duduk permasalahannya, Beliau adalah Kyai Presiden sekaligus Presiden Kyai yang pernah dimiliki oleh negeri ini.

Sehingga bagi orang-orang yang telah mengenal Gus Dur dan bisa memahaminya akan lebih mengerti makna kehidupan ini dengan lebih bijak dan santun, mengambil sisi kehidupan sesuai porsinya. Sedang bagi mereka yang masih hitam putih, sangat sulit untuk menerima jalan pikiran Gus Dur, bahkan cenderung bingung. Itulah Kyai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, manusia diatas manusia.

Gus Dur-Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Al Qur’an
Masuk Kategori: HOT NEWS
Masya ALLOH…Gus Dur..istighfar sampeyan…
Eling…
Nyebut…
Selagi ALLOH SWT masih memberikan kesempatan kepada sampeyan untuk hidup…selagi nafas belum di ujung tenggorokan…selagi…selagi…dan masih 1000 selagi masih ada kesempatan dari ALLOH, Gus..
Istighfar Gus…sebelum semuanya terlambat… :’-(
Ya ALLOH … Yaa Rabbi… :’-(
*menitikkan air mata utk statement Gus Dur ini…*
JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?
Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh).
JIL: Maksudnya?
Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar