KH.ABDUR RAHMAN WAHID

KH ABDUR RAHMAN WAHID YANG BIASA DISAPA GUSDUR ADALAH TOKOH NASIONAL DENGAN BERBAGAI PREDIKAT - SEBAGAI ULAMA BESAR, BAPAK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA - BAPAK LSM - JURNALIS DAN BERBAGAI SEBUTAN LAINNYA

Senin, 11 Januari 2010

Gus Dur dan Masa Depan (Politik) NU

Gus Dur dan Masa Depan (Politik) NU
Oleh Firdaus Muhammad Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar
Tribun Timur/Andre

Rabu, 6 Januari 2010 | 20:56 WITA

Mekanisme politik NU harus ditata agar tidak terjadi pembiaran padahal NU sebagai pasar suara, NU harus diselamatkan dan disatukan, jika tidak ditata justru akan dimanfaatkan orang lain yang justru kemungkinan merusak NU, sebab hanya orang NU yang ikhlas membesarkan NU

Gus Dur panggilan akrab KH Abdurrahman wahid berpulang di tengah berkelindannya problematika bangsa. Kepergian Gus Dur menjadikan bangsa ini kehilangan figur guru bangsa, guru yang mengajarkan pluralisme, demokrasi, inklusivisme Islam dan pembelaan terhadap kaum minoritas yang acap termarginalkan.
Sosok Gus Dur yang terbuka dan kontroversi menjadikan dirinya sebagai figur news maker, menarik diliput. Salah satunya, kiprah Gus Dur dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi terbesar di Indonesia. Kiprahnya selama 15 tahun menjabat Ketua Umum PBNU, Gus Dur telah banyak mewarnai organisasi kaum pesantren dan ulama tersebut.
Kontribusi terbesar Gus Dur dalam NU di antaranya, ia mampu mensterilkan NU dari kubangan politik praktis melalui komitmen kaum Nahdliyin kembali ke khittah 1926. Gus Dur pula yang menjadikan NU menjadi opisisi vis a vis dengan negara dibawah kekuasaan rezim Soeharto.
Berselang 15 tahun kemudian, ternyata Gus Dur yang masih menjabat Ketua Umum PBNU membidani kelahiran partai politik dlam rahim NU bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejak itu, NU menjadi sulit mengambil jarak dengan politik ditandai sejumlah tokoh kharismatik NU terlibat dalam partai dan menjadi anggota legislatif.
Implikasi politiknya mengarahkan kaum Nahdliyin dalam muara konflik, terjadi fragmentasi politik secara internal. Akibat lain, warga NU juga mengalami perpecahan karena perbedaan sikap politik mereka.
Mengamati kian rumitnya permasalahan partai berbasis Nahdliyin ini, sejumlah pihak menaruh harapan sikap melunak antara kedua kubu tersebut, demi menyelamatkan PKB dari keterpurukan. Berharap Gus Dur melunak sangat tipis, maka etikanya dalam tradisi NU, Muhaimin dapat bersikap terbuka dan siap bekerjasama dengan kubu Gus Dur. Jika langkah itu benar-benar dilakukan hingga sowan kepada Gus Dur, tentulah sedikit menyelamatkan citra PKB ke depan. Namun Muhaimin tidak pernah melakukan itu hingga Gus Dur wafat.

Determinasi Gus Dur
Siapa dalang konflik PKB sesungguhnya, tentulah Gus Dur yang "dieksekusi" publik sebagai tokoh determinannya. Tetapi bagi pendukung Gus Dur, opini demikian tidak dapat dibenarkan, melainkan akan menuduh keterlibatan pihak ketiga, pemerintah, misalnya. Terlepas dari berbagai spekulasi yang ada, sulit diingkari bahwa PKB tidak terlepas dari bayang-bayang Gus Dur selaku deklaratornya.
Lalu apakah Gus Dur "diadili" atas perilaku politiknya yang otoriter. Bukankah Gus Dur dikenal sebagai ikon penegakan demokrasi? Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab secara normatif, sebab Gus Dur figur yang banyak langkah kontroversial, berbeda dengan logika masyarakat secara umum.
Bagi yang memahami nalar politik Gus Dur, dengan gampangnya berkilah, Gus Dur adalah tokoh yang memiliki telenta dan "terawang" politik sehingga langkahnya yang dinilai keliru hari ini, justru dapat dibenarkan pada masa mendatang.
Namun persoalan konflik PKB sekarang ini, bukan lagi berwacana ihwal Gus Dur sebagai tokoh kharismatik yang setiap langkahnya dibenarkan dan diterima atau sebaliknya. Di luar itu, persoalan yang terpenting adalah bagaimana menyelamatkan nasib PKB dari keterpurukan citra dan perolehan suaranya pada pemilu-pemilu lalu. Gus Dur ternyata tetap menjadi faktor determinan yang mewarnai PKB sepanjang hayatnya.
Determinasi Gus Dur dalam PKB dapat bernilai positif selama partai dijalaninya di atas khittahnya, menyalurkan aspirasi politik kaum Nahdliyin. Sebagai kaum mayoritas, jelas kaum Nahdliyin sebagian besar petani dengan standar ekonomi relatif rendah. Maka konflik internal PKB yang merupakan partai yang didirikan tokoh NU itu tidak dapat memenuhi harapan Nahdliyin untuk perbaikan nasibnya.
Fragmentasi elite NU politik di tubuh PKB membuatnya abai terhadap kemaslahatan kaum Nahdliyin. Implikasinya, suara Nahdliyin eksodus ke partai lain akibat krisis kepercayaan pada elite politik NU di PKB.
Gus Dur tetap menjadi figur dan lokomotif Nahdliyin dengan ke-khos-annya. Dalam pengakuannya, kiai khos adalah istilah yang dipopulerkannya dengan menyebut sejumlah kiai yang menjadi tokoh partai PKNU, pecahan dari PKB yang kecewa dengannya.
Artinya, Gus Dur sebagai desainer kiai khos dapat melakonkan perilaku politik yang arif dengan keteladanan bersahaja. Jika benar banyak kader PKB yang bermain mata untuk meraup fulus secara pragmatis diniscayakan untuk "mengadilinya" dengan recall atau sanksi lainnya, tapi bukan menyulut konflik horizontal dalam partai.

Merawat Tradisi
Awalnya NU didirikan atas kesadaran politik keagamaan dalam membendung arus Wahabisme dan puritanisme. Meski kemudian dipertegas bahwa NU sebagai ormas keagamaan, tetapi dengan pengikut jutaan menggoda dan tergoda untuk terlibat dalam politik praktis. Akibatnya, NU sulit dilepaskan dari kancah politik.
NU memiliki khazanah tradisi yang kuat dan mengakar. Tradisi pesantren yang terbangun secara emosional antar kiai dalam jaringan geneologis, tetap terpelihara baik. Ikatan ideologis keaswajaan dan sentimen keagamaan yang kuat melalui jaringan tradisi pesantren, menumbuhkan intelektualisme kaum santri.
Tradisi lain yang juga menjadi karakteristik kaum Nahdliyin adalah perhargaannya terhadap ulama. Kepatuhan dan kesantunan santri, setidaknya karena pengaruh kitab Ta'lim Muta'allim. Kitab ini mengajarkan etika dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu dan orang berilmu, ulama.
Namun yang memperihatinkan kemudian, pengalaman dan pengamalan etika tersebut hampir hilang dalam konstelasi politik. Perilaku politik elite NU yang saling bertikai akan menjatuhkan wibawanya. Pendiri NU tidak mewariskan tradisi politik yang melahirkan perpecahan, tetapi tradisi politik moral kebnagsaan untuk kemaslahatan anak bangsa.
Problematika internal NU yang cukup menyita perhatian adalah pada persoalan politik, terutama karena keterlibatan sejumlah kiai dalam kancah politik praktis. Akibatnya terjadi fragmentasi antara kiai yang berimbas pada perilaku politik santri dan warga Nahdliyin. Dan, pada kenyataannya sejumlah kiai yang terjun dalam politik praktis, baik melalui pilkada maupun pilpres mengalami kekalahan.
Maka salah satu tawaran untuk diagendakan dalam Muktamar NU Ke-32 di Makassar adalah menata politik. Setidaknya melakukan sterilisasi guna meminimalisir arus fragmentasi yang justru "melumpuhkan" NU. Perlu proses reinventing politik NU, yakni mencari identitas dan formulasi politik, bagaimana menatanya, menjabarkan take and give bagi NU dan bukan mengabaikannya. Sebab jika NU sepenuhnya menagggalkan politik justru hanya akan menjadi "pasar" yang diperebutkan untuk mendapatkan keuntungan.
Mekanisme politik NU harus ditata agar tidak terjadi pembiaran padahal NU sebagai pasar suara, NU harus diselamatkan dan disatukan, jika tidak ditata justru akan dimanfaatkan orang lain yang justru kemungkinan merusak NU, sebab hanya orang NU yang ikhlas membesarkan NU. Karena itu, NU harus punya mekanisme dan rumusan konsep yang mengatur relasi NU dengan politik praktis, NU harus diselamatkan agar tidak terseret menjadi korban politik yang menyuplai suara NU belaka tapi tidak memberi manfaat dan kemaslahatan bagi Nahdliyin.
Aspek lain yang meniscayakan penataan mekanisme politik itu, sebab selama reformasi ternyata NU hanya didera fragmentasi dan turbulensi politik yang tidak terkendalikan karena tidak adanya mekanisme yang mengatur, NU dirugikan. Tampaknya dinamika konflik internal berkepanjangan menjadi keunikan NU, apalagi konflik itu muncul dari kalangan elit
Kini Gus Dur telah pergi untuk selamanya, bagaimana kelak masa depan NU berkiut kiprah politiknya, akan sangat tergantung pada kedewasaan politik kaum Nahdliyin sendiri. Tetapi suatu yang tidak terlupakan bahwa Gus Durlah yang telah mengantarkan NU menjadi organisasi yang diakui eksistensinya, baik dalam politik maupun intelektualitasnya. Selamat jalan Gus Dur.***

Tribun Timur, Selalu yang Pertama

http://www.tribun-timur.com/read/artikel/67377

Tidak ada komentar:

Posting Komentar