KH.ABDUR RAHMAN WAHID

KH ABDUR RAHMAN WAHID YANG BIASA DISAPA GUSDUR ADALAH TOKOH NASIONAL DENGAN BERBAGAI PREDIKAT - SEBAGAI ULAMA BESAR, BAPAK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA - BAPAK LSM - JURNALIS DAN BERBAGAI SEBUTAN LAINNYA

Senin, 11 Januari 2010

NU Sepeninggal Gus Dur, antara Tradisi dan Inovasi

NU Sepeninggal Gus Dur, antara Tradisi dan Inovasi
Judul : Pergolakan di Jantung Tradisi NU yang Saya Amati

Penulis : Asad Said Ali
Penerbit : LP3ES
Tebal : 264 halaman

APA dan bagaimana Nahdhatul Ulama (NU) sepeninggal Gus Dur? Buku berjudul "Pergolakan di Jantung Tradisi NU yang Saya Amati" tulisan Asad Said Ali ini sangat komprehensif dalam membedah jeroan NU, terutama pergolakan pemikiran yang telah dan sedang terjadi di kalangan generasi muda NU. Pemetaan yang jelas dan lugas telah disajikan oleh penulis yang tidak hanya menyoroti dimensi politik, budaya dan pemikiran, akan tetapi juga dimensi yang sangat mendesak untuk diprioritaskan yaitu perekonomian. Pergumulan anak muda NU dalam berinteraksi dengan neoliberalisme (neolib) juga terpapar dengan gamblang dalam buku ini.

Terdiri dari 7 bab, buku ini menghadirkan pengamatan cermat tentang perubahan besar yang terjadi pada jantung tradisi NU sebagai buah perubahan di dunia dalam dan dunia luar yang membawa sintesis kreatif antara tradisi dan inovasi. Dari bab ke bab bertutur perihal Fiqh sebagai cara pandang, reformasi pemikiran dan politik, neoliberalisme dan para penyebarnya, sayap kultural, benturan gagasan dan langkah, serta Refleksi Khittah 1926.

Sebagai ormas Islam yang meletakkan dasar akidah ahsunnah waljamaah, NU dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang surut, pergolakan dan perubahan, meski akhirnya bisa diselesaikan secara musyawarah. Perubahan bukanlah proses mendadak. Selalu ada kondisi yang menjadi prasyarat bagi munculnya perubahan. Dan, kondisi itu adalah perubahan sosiologis warga nahdliyyin.

Institusi Modern
Seiring kemajuan ekonomi dan sosial yang berlangsung sejak dekade 1970-an, komunitas NU mulai berkenalan dengan institusi-institusi modern. Pesantren yang awalnya terstruktur dalam sistem pendidikan otonomi dan mandiri, lama kelamaan mulai bersentuhan dengan sistem pendidikan kurikulum nasional. Perkenalan ini mengantar generasi muda NU untuk mengenyam pendidikan modern. Namun, pendidikan modern memang bagaikan kotak pandora. Sekali generasi muda NU bersentuhan dengannya, maka dampak jangka panjangnya tidak terkirakan.

Mereka tokoh-tokoh pembaru kemudian tidak hanya mengenal pemikiran-pemikiran kritis (ini pun sudah di luar pakem tradisi pesantren), melainkan mampu menjalin jaringan yang luas dengan komunitas-komunitas di luar NU, dunia gerakan ataupun Non-Goverment Organization (NGO) atau dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kita mengenal sepak terjang KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, seorang tokoh pembaru dari dalam NU dan Presiden RI ke-V yang ucapan dan pernyataan-pernyataannya sampai sekarang selalu kritis, di luar struktur dan terkadang nyeleneh. Selain Gus Dur, juga tampil tokoh-tokoh pembaru NU seperti Kiai Achmad Siddiq, Kiai Sahal Mahfudz dan Masdar F Masudi.

Kebetulan, NU saat itu masih diwarnai dominasi kalangan ulama tua dan politisi, sehingga kurang memberi ruang terhadap generasi baru. Sentuhan dengan komunitas non-NU itu menjadikan kalangan muda masuk dalam agenda-agenda global, seperti neoliberalisme dan sejenisnya. Pergumulan pemikiran memang terjadi. Serapan terhadap gejala mutakhir, mau tidak mau, berkonfrontasi dengan kemapanan tradisi. Sebuah benturan besar memang sedang berlangsung. Dan, dampak benturan itu adalah goyahnya sejumlah pilar tradisi.

Uniknya, benturan gagasan antara tradisi dan inovasi akan diiringi dengan munculnya proses saling akomodasi. Akhirnya, kalangan tua menyerap sebagian gagasan kalangan muda, sedangkan kalangan muda berlatih bersabar sambil mengevaluasi langkah-langkahnya. Uniknya lagi, kedua kelompok yang bersitegang itu sama-sama berangkat dari tradisi.

Dengan kata lain, pemahaman terhadap tradisi digunakan sebagai titik pijak untuk melakukan perubahan dan bukan menolaknya. Jelas, dinamika NU selama dua dekade seakan membantah teori para pakar dan politisi, bahwa perubahan besar justru dapat berlangsung dari jantung tradisi itu sendiri.

Denyut Perubahan

Pada bab yang membahas perihal neoliberalisme dan para penyebarnya, penulis secara runtut dan menarik memaparkan ihwal denyut perubahan yang mulai bergeliat dan persoalan yang lebih besar telah menghadang. Komunitas NU dihadapkan sejumlah persoalan yang tidak mudah dibaca dengan perspektif kitab kuning (kitab klasik). Bagaimana memahami reksadana, bursa efek, Hak Asasi Manusia (HAM), barang publik, ekspansi kapital dan seterusnya. Persoalan-persoalan ini dimensinya lebih luas yang tidak akan memadai jika dipahami dengan kitab klasik.

Cara NU merespons persoalan ini sebenarnya unik. Secara tidak langsung, sentuhan dengan persoalan kontemporer itu dilakukan lebih dahulu oleh anak muda NU yang berpendidikan ganda. Mereka bergerak sebagai aktivis NGO (LSM) atau akademisi yang tentunya lebih terbuka. Mereka pula yang mula pertama menggeluti isi-isu kontemporer, khususnya agenda neoliberalisme. Melalui ulah mereka, persoalan itu tertransmisikan ke dalam jantung utama NU yaitu para ulama. Dengan demikian, pada tingkat tertentu, pengaruh kekuatan global, yang acap diidentikkan dengan neoliberalisme itu, justru sudah ada jejaknya pada kalangan anak muda NU.

Pada akhirnya, progresivitas pemikiran kalangan muda dan dinamika yang terjadi di kalangan ulama NU belakangan ini mungkin tidak terbayangkan oleh Kiai Achmad Siddiq, 25 tahun lalu, saat mula pertama merumuskan pentingnya kembali ke Khittah 1926. Saat itu, Kiai Achmad Siddiq hanya memimpikan para ulama mendidik santrinya tidak hanya untuk menjadi muqallid ama (pengikut buta), tetapi untuk memiliki kemampuan lebih tinggi lagi, untuk menjadi muqallis yang lebih baik.

Harapan itu sekarang sudah terlampaui. Tidak hanya menjadi muqallid yang lebih baik, tetapi merambah lebih jauh yaitu mengeksplorasi pendekatan manhajy (metodologis) dalam meneropong berbagai persoalan kontemporer. Konsen jumud (stagnan) dan anti-kemajuan yang selama ini melekat pada jamiyyah nahdliyyah, dengan sendirinya terhapus oleh dinamika perkembangan NU selama lebih dari dua dekade belakangan ini.

Doktrin ahsunnah wal jamaah yang menjadi nafas organisasi, dengan sadar tidak pernah dikesampingkan, malah diperkukuh dengan memberi visi baru. Dan muatan baru itu bermula dari gagasan sederhana, bagaimana melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam klasik. Dengan membaca buku ini, kita dapat mengetahui dimensi kontekstual realitas sosial yang sedang kita alami yang akan sangat berguna bagi ijtihad kita dalam menemukan fiqh sosial yang tepat dan bermanfaat.

Selain itu, buku ini juga memberikan referensi yang baik untuk menempatkan tradisi NU dalam melakukan social control dan social engeneering yang tepat. Walau sangat tebal (264 halaman) dan tidak ada ilustrasi foto sama sekali, yang terpenting buku ini merupakan maalim (rambu-rambu) perjalanan NU ke depan, sebagaimana dikatakan almarhum Gus Dur. "Gitu aja kok repot," guyon Gus Dur dalam menanggapi riak perjalanan di partai Islam yang menganut paham ahlussunah waljamaah.

http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=15&id=27901

Tidak ada komentar:

Posting Komentar