KH.ABDUR RAHMAN WAHID

KH ABDUR RAHMAN WAHID YANG BIASA DISAPA GUSDUR ADALAH TOKOH NASIONAL DENGAN BERBAGAI PREDIKAT - SEBAGAI ULAMA BESAR, BAPAK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA - BAPAK LSM - JURNALIS DAN BERBAGAI SEBUTAN LAINNYA

Minggu, 10 Januari 2010

SBY Pikirkan Gelar untuk Gus Dur dan Soeharto

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mempertimbangkan keinginan berbagai pihak soal pemberian gelar pahlawan nasional untuk Gus Dur dan Soeharto. Pascawafatnya Gus Dur, banyak pihak yang mengusulkan agar Presiden RI ke-4 itu diberi gelar pahlawan nasional. Bersamaan dengan usulan untuk Gus Dur, mencuat pula usulan gelar pahlawan nasional untuk Presidea RI ke-2 Soeharto.
"Semua akan presiden pertimbangkan dengan merujuk UU 20/2009 soal gelar tanda jasa dan kehormatan. Ini kesepakatan pemerintah dengan DPR," kata Jubir Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Minggu (3/1).Berdasar aturan dalam produk hukum tersebut, pemberian gelar tanda jasa dan kehormatan tidaklah instan. Dalam Pasal 16 UU 20/2009, dengan „ tegas djnyatakaji terlebih dahu-tuperlu dibentuk IH-\v;in Gelar JSanda Jasa daa Kehormatan yang bertugas inemberi rekomendasi kepada Kepala Negara mengenai gelar paling tepat berdasar pada prestasi dan kualifikasi tokoh yang hendak diberi gelar.
"Anggotanya ada tujuh orang. Akademisi 2 orang, 2 dari militer atau berlatar belakang militer, dan 3 lagi adalah tokoh yang mempunyai gelar setara, serta relevan dengan gelar yang hendak diberikan," tutur Julian.Presiden bisa menunjuk siapa saja yang akan duduk dalam dewan itu. Julian mengaku belum mendengar rencana pembentukan dewan itu, baik bagi Gus Dur maupun Soeharto dalam waktu dekat. "Saya tidak tahu kok tiba-tiba kesannya Senin besok (hari ini-red.) Kepala Negara sudah akan memutuskan soal gelar itu," ujarnya.Sementara itu, keinginan agar Soeharto diberi gelar pahlawan digulirkan Ketua Fraksi Partai Golkar (PG) di DPR Setya Novanto. Menurutnya, PG siap mendukung Gus Dur sebagai pahlawan nasional. Namun, PG juga ingin agar Soeharto mendapat gelar serupa. "Pak Harto harus jadi pahlawan. Pak Harto sudah berbuat untuk rakyat," ujarnya. (Otc)*"
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima dan menyerahkan usulan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Presiden Ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke mekanisme yang berlaku. Demikian diungkapkan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (4/1).
"Dalam hal ini, tentu saja ketentuan yang ada dalam UU No. 20/2009 yang mengatur pemberian gelar dan tanda jasa, tinggal nanti dilihat bagaimana proses selanjutnya dari usulan-usulan yang masuk," ujar Julian.Julian mengatakan,.Presiden Yudhoyono telahmengetahui masukan dari berbagai kalangan, tokoh masyarakat, juga dari parpol yang menginginkan pemberian gelar kehormatan kepada Gus Dur sebagai pahlawan nasional. Pemerintah harus membentuk dahulu Dewan Tanda-tanda Kehormatan yang bertugas memberikan pertimbangan atau masukan bagi Presiden tentang usulan dari nama-nama tersebut.
Menurut dia, komponen yang bisa memberikan pertimbangan terdiri atas tiga unsur, yaitu akademisi dua orang, unsur militer atau yang mewakili dua orang, dan sisanya dari tokoh masyarakat. Julian memaparkan bahwa tokoh masyarakat yang dimaksud adalah yang pernah mendapatkan gelar kehormatan."Jadi, berdasarkan pertimbangan dari Dewan Tanda-tanda Kehormatan Gelar, Presiden bisa memberikan keputusan apakah yang bersangkutan diberikan gelar pahlawan atau tidak. Tim atau dewan tersebut belum dibentuk pada saat ini," katanya.
Julian menyebutkan, usulan untuk menjadikan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan juga akan dipertimbangkan oleh tim tersebut. Saat ditanya tentang kemungkinan Gus Dur akan memperoleh gelar pahlawan nasional pada Hari Pahlawan 2010, Julian menjawab hal itu bisa saja terjadi. Tidak tertutup kemungkinan kalau berbicara kemungkinan. Akan tetapi, yang pasti lazimnya pemberian gelar pada saat momen hari-hari besar. Jadi, tidak serta-merta Presiden memberikan gelar kepada seseorang tidak dalam konteks hari-hari besar," katanya.
PKB resmi ajukan Gus Dur
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Senin (4/1), seeara resmi mengajukan surat kepada pimpinan DPR mengenai usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Usulan itu pun disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Mensesneg Sudi Silalahi, dan Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri. Demikian diungkapkan Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Jafar dan Sekretaris Fraksi PKB Muh. Hanif Dhakiri seusai menyampaikan usulan tersebut kepada pimpinan dewan, di Gedung DPR/MPR, kemarin.
Menurut Marwan Jafar, sejak Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009, pihaknya banyak menerima usul dan aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat yang menginginkan agar Gus Dur diberi gelar pahlawan nasional.Masyarakat meminta FPKB menjadi lembaga yang mengusulkan secara resmi kepada pemerintah agar memberi gelar tersebut. Berdasarkan banyaknya aspirasi masyarakat dan data-data yang terkait dengan kiprah Gus Dur, FPKB menilai Gus Dur telah memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sc bagai pahlawan nasional. Gus Dur telah memenuhi persyaratan sesuai dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
"Kami menyampaikan usulan tersebut sebagai bentuk tanggungjawab dan penghormatan kepada K.H. Abdurrahman Wahid sekaligus memenuhi tugas untuk mengemban aspirasi rakyat," kata Marwan.Selain PKB. sejumlah anggota dewan secara borgant ian mengusulkan Gus Dur diberi gelar pahlawan. DPR meminta kepada pimpinan DPR untuk segera menjadwalkan prioritas rapat pimpinan DPR yang mengagendakan pengusulan kepada Presiden menyangkut pemberian gelar pahlawan kepada Gus Dur.
"Kami meminta agar dijadwalkan rapat konsultasi tertutup antara pimpinan DPR dan Presiden SBY. Apalagi, Presiden hari ini pun sudah mengeluarkan pernyataan bahwa dia akan segera mengakomodasi hal itu," kata Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo dalam sidang paripurna pembukaan masa sidang II DPR/MPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin.Selain Tjahjo. Nurul Arifin dari FPG menegaskan, Presiden tidak cukup mengatakan bahwa Gus Dur adalah Presiden ke-4 RI, guru bangsa, dan putra terbaik bangsa. "Itu tidak cukup. Gus Dur adalah tokoh pluralisme. Saya ingin ada ketegasan duri pimpinan dewan untuk menyatakan bahwa Gus Dur adalah tokoh pluralisme," kata Nurul Arifin.
Gandung Pardiman dari FPG juga menyatakan hal yang sama. Hanya, selain Gus Dur, Golkar meminta agar Soeharto juga diberi gelar pahlawan. "Kamijuga mengingatkan supaya Soeharto juga diagendakan dengan Gus Dur untuk prioritas pemberian gelar pahlawan," kata Gandung. (A-109/A-130)
Sedikit Dari Yang Saya Kenal Tentang Gus Dur (KH.Abdurrahman Wahid)
Kamis, 31 Desember 2009 13:14 Saya mengenal nama Gus Dur sudah lama, yaitu sejak pertengahan tahun 1970 an. Ketika itu, Gus Dur pulang dari Baghdad, dan karena belum dinyatakan lulus dari belajarnya di Irak, ia mau mengambil kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Oleh karena, Gus Dur tidak memiliki dokumen yang cukup, maka niatnya itu gagal, sesuai dengan peraturan, tidak bisa diterima.

Mendengar bahwa Gus Dur tidak bisa diterima, kuliah tingkat doctoral di IAIN Sunan Ampel Surabaya, maka Pak A.Malik Fadjar, yang waktu itu menjabat sebagai Sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang menemuinya. Pak Malik menawarkan agar Gus Dur, meneruskan saja di IAIN Malang. Ketika itu, IAIN Sunan Ampel Malang sudah membuka program doctoral. Namun Pak Malik Fadjar tidak mempersilahkan Gus Dur menjadi mahasiswa doctoral melainkan justru diangkat sebagai pengajar di tingkat doctoral itu.
Atas tawaran Prof. Malik Fadjar, M.Sc, Gus Dur menerima, hanya dia mengakiu tidak punya pangkat sebagai persyaratan sebagai pengajar di tingkat doctoral. Pak Malik kemudian menyanggupi, memberi pangkat Gus Dur, golongan IV/a. Mulai dari sini, KH.Abdurrahman Wahid mengajar di IAIN Malang tingkat doctoral, berstatus sebagai dosen luar biasa selama beberapa tahun. Gus Dur berhenti member kuliah, karena pindah ke Jakarta. Namun secara resmi, Gus Gur belum pernah menyatakan berhenti atau diberhentikan sebagai dosen di IAIN Malang. Pernyataan ini pernah saya sampaikan, tatkala menyambut Gus Dur sebagai Presiden, ketika berkunjung di UIN Maliki Malang.
Sejak itu, Gus Dur memiliki banyak kegiatan di Malang, terutama terkait dengan kegiatan kerukunan umat beragama. Selain ke IAIN Malang, Gus Dur biasanya juga menemui kawannya, di antaranya Romo Yansen, pengajar di STFT Malang. Gus Dur bersama Pak Malik Fadjar sering menyelenggarakan penelitian bersama dengan umat agama lain, seminar, kerjasama social kemasyarakatan sebagai bagian dari kegiatan bersama umat berbagai agama di Malang. Beberapa kegiatannya dilakukan di Paniwen, Sumber Pucung dan beberapa tempat lainnya.
Lewat Pak Malik Fadjar, saya banyak ditugasi untuk mengetik tulisan-tulisan Gus Dur berupa laporan kegiatannya. Selain itu, saya juga ditugasi untuk menyusun beberapa laporan, misalnya membuat monografi kerukunan umat beragama, termasuk juga menyusun abstraks dari beberapa laporan kegiatan sebagai bahan seminar, dan beberapa tulisan lainnya tentang kegiatan kerukunan umat beragama tersebut.

Setelah Gus Dur pindah ke Jakarta dan banyak kegiatannya di LP3ES dan juga di tempat lainnya, saya oleh Pak Malik Fadjar seringkali diajak mengikuti acara-acara penting yang diselenggarakannya. Pada waktu-waktu tertentu, Gus Dur bersama koleganya mengadakan diskusi terbatas, yang diikuti antara lain oleh Pak Dawam Rahardjo, Pak Muchtar Buchori, Pak Muslim Abdurrahman, Pak Djohan Efendi, Pak Utomo, Pak Malik Fadjar dan lain-lain. Ketika itu, saya masih sangat yunior, sehingga peran saya hanya sebatas pendengar, dan jika diperlukan, membantu menulis laporan dan mengetiknya.
Pernah pada suatu ketika, sekitar akhir tahun 1983, diadakan diskusi terbatas, -----kalau tidak salah, mengambil tempat di rumah Pak Muchtar Buchori di Jakarta. Diskusi yang diikuti antara lain oleh beberapa tokoh yang saya sebutkan di muka, membicarakan dua hal penting, yaitu pertama, mendiskusikan rencana-rencana kegiatan Pak Nurcholis Madjid setelah pulang dari Amerika Serikat. Para tokoh tersebut, tidak ingin sepulang dari Amerika, kegiatan Nurcholis Madjid hanya sebatas berceramah dari satu tempat ke tempat lain.
Kedua, adalah berdiskusi tentang bagaimana menyusun scenario agar pada Muktamar NU yang sebentar lagi ketika itu (1984) akan digelar di Asem Bagus, Situbondo, Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PB NU. Pada saat itu, para tokoh memandang bahwa untuk memajukan dan mendinamisasikan NU, maka Gus Dur harus didorong sebagai pucuk pimpinannya. Ternyata, muktamar NU di Situbondo, benar–benar berhasil mengangkat cucu pendiri NU yang pernah belajar di Mesir dan juga di Baghdad ini, sebagai Ketua Umum PBNU.
Karena ketika itu, saya masih tergolong sangat yunior dibanding para tokoh tersebut, maka sekalipun memiliki idea atau pandangan, saya tidak berani menyampaikannya. Namun, ketika itu saya merasa agak gelisah, apabila Gus Dur benar-benar berhasil menduduki posisi sebagai Ketua Umum PBNU. Kegelisahan saya itu muncul tatkala membayangkan antara Gus Dur sendiri dengan umat yang akan dipimpinnya. Sekalipun saya tahu, bahwa Gus Dur adalah cucu pendiri NU, akan tetapi saya melihat ada jarak yang sedemikian jauh dengan umat yang akan dipimpinnya.

Dalam pandangan saya, jika Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU, maka saya membayangkan NU akan menjadi bagaikan angsa. Seekor angsa memiliki badan besar, kepala kecil, tetapi lehernya sedemikian panjang. NU akan seperti angsa itu. Maksud saya, jika Gus Dur menjadi ketua PBNU, maka antara Gus Dur yang pikiran-pikirannya sedemikian cemerlang, dinamis, inovatif, sangat luas, dan sedemikian modernnya akan menjadi pimpinan warga NU yang kebanyakan ada di pedesaan. Antara Gus Dur dan warna NU yang tinggal di kabupaten/kota, kecamatan, desa, dan bahkan di pinggiran-pinggiran laut, pulau kecil, dan di pedalaman, akan berjarak yang sedemikian jauh. Saya umpamakan, antara Gus Dur dengan kebanyakan umatnya, bagaikan kepala dengan badan angsa, dipisahkan oleh leher yang sedemikian panjang.

Jika benar-benar dipimpin Gus Dur, NU akan menjadi bagaikan angsa, tidak bisa bergerak cepat, karena badannya terlalu besar, tetapi suara kerasnya terdengar kemana-mana. Apa yang saya gambarkan tersebut, saya lihat kemudian ada benarnya. Pikiran-pikiran Gus Dur tentang agama, politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan dan lain-lain selalu berjarak dengan umatnya yang sedemikian besar jumlahnya dan bervariatif itu. Oleh karena itu maka seringkali terjadi, pikiran-pikiran Gus Dur tidak sambung dengan masyarakat bawah yang dipimpinnya. Saya ketika itu berpikir dan berdoa, bagaimana agar antara kepala angsa dan badannya, sebagai gambaran NU, semakin mendekat. Artinya, umat berhasil semakin bisa memahami dan mengikuti pikiran-pikiran cerdas Gus Dur. Selain itu, saya juga berdoa agar kepala angsa juga semakin besar. Artinya, tokoh-tokoh sekaliber Gus Dur di NU semakin banyak.

Tatkala menjabat sebagai Presiden, Gus Dur pernah saya undang ke UIN Maliki Malang. Ketika itu UIN Maliki Malang masih berstatus sebagai sekolah tinggi, yaitu STAIN Malang. Presiden yang sekaligus juga Kyai besar ini, hadir untuk memberikan ceramah, mengenai pandangannya tentang pendidikan Islam di masa depan, dan juga sekaligus meresmikan penggunaan Ma’had al Aly, Sunan Ampel, STAIN Malang. Prasasti peresmian itu, sampai sekarang masih ada di depan Ma’had, dan saya kira, selamanya tidak akan pernah hilang dari tempat itu. Gus Dur akan tetap dikenang oleh warga kampus UIN Maliki Malang, baik sebagai dosen yang belum pernah berhenti, tokoh umat, cendekiawan, dan sebagai Presiden RI yang pertama hadir di kampus UIN Maliki Malang.
Satu hal yang tidak pernah akan saya lupakan dari Gus Dur`, ialah pesan beliau terkait STAIN Malang yang kini telah berubah menjadi UIN Maliki Malang. Pesan itu menyangkut konsep memadukan bentuk lembaga pendidikan Islam, antara ma’had dengan kampus. Konsep itu, oleh Gus Dur dianggap sangat tepat. Sebelum pulang dari meresmikian Ma’had STAIN Malang, Gus Dur singgah di pendopo Kabupaten Malang untuk santap siang. Pada kesempatan santap siang itu, beliau berpesan kepada saya, dengan mengatakan : “ bentuk lembaga pendidikan ingkang panjenengan kembangaken sampun leres. Memadukan antawis tradisi perguruan tinggi lan pesantren, utawi ma’had. Sampun ngantos diubah-ubah, puniko sampun leres, ateges sampun kepanggih bentuk lembaga pendidikan ingkang tepat. Menawi wonten persoalan, kulo saget dikabar, Lan menawi tindak Jakarta, monggo mampir dateng istana. Ketika itu, segera saya jawab, “inggih, insya Allah”, matur nuwun, dalem isthoáken.
Pesan Presiden KH Abdurrahman Wahid yang disampaikan dengan menggunakan Bahasa Jawa kromo------bahasa halus, terkait dengan konsep pendidikan yang menggabungkan antara tradisi pesantren dan kampus itu, tidak pernah saya lupakan. Pesan Gus Dur tersebut juga dikuatkan oleh Ibu Sinta Nuriyah yang ketika itu duduk di sebelah suaminya. Bersama Gus Dur dan Ibu Sinta Nuriyah, Pak Djohan Efendi, Pak Muslim Abdurrahman, dan beberapa pejabat lain, termasuk saya sebagai pimpinan STAIN Malang. Sekalipun Gus Dur sudah wafat, hari Rabu, tanggal 30 Desember 2009 jam 18.45 di Jakarta, saya bertekat mewujudkan pesan-pesan itu, hingga kampus ini ke depan semakin maju dan sempurna. Atas wafatnya Gus Dur kita semua berduka, dan berdoa, semoga Gus Dur ditempatkan oleh Allah swt., pada tempat yang mulia, di sisi-Nya. amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar