KH.ABDUR RAHMAN WAHID

KH ABDUR RAHMAN WAHID YANG BIASA DISAPA GUSDUR ADALAH TOKOH NASIONAL DENGAN BERBAGAI PREDIKAT - SEBAGAI ULAMA BESAR, BAPAK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA - BAPAK LSM - JURNALIS DAN BERBAGAI SEBUTAN LAINNYA

Senin, 11 Januari 2010

Meneladani warisan Gus Dur

Meneladani warisan Gus Dur
Submitted by admin on Mon, 01/04/2010 - 00:00

Bisnis Indonesia
Opini

Meneladani warisan Gus Dur

Mengelola perbedaan untuk kemajuan
OLEH ISMATILLAH A. NUAD Associate Researcher Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina. We should not force our own Interpretation upon others - Gus Dur, 1940-2009 Kita t.k perlu memaksakan tafsir kita supaya orang lain mengikutinya. Itulah petikan pernyataan KH

Abdurrahman Wahid atau populer dengan panggilan Cus Dur saat diwawancara media internasional menyangkut adanya kekerasan agama yang pernah menghiasi bangsa Indonesia. Gus Dur kini telah kembali ke haribaan Ilahi di usia 69 tahun. Tokoh besar NU dan mantan presiden ke-4 RI ini memiliki prisma pemikiran, tak hanya ahli dalam bidang agama hingga disebut tokoh pluralis, tetapi juga ulama yang menghayati politik, pengamat seni, budayawan sekaligus pencinta sepak bola. Pada 1999, penerbit buku LK1S mendokumentasikan berbagai pemikiran Gus Dur dalam buku berjudul Prisma Pemikiran Gus Dur.

Memahami sosok pemikiran Gus Dur memang sangat kompleks. Karena itulah sebagian orang menilai bahwa bangsa Indonesia belum siap menerima kepemimpinan Gus Dur ketika beliau dimandat sebagai Presiden RI pada 1999. Itulah sebabnya, kebijakan dan pendapat Gus Dur dianggap kontroversial oleh kalangan awam.

Meskipun di kalangan intelektual maupun akademisi, kebijakan dan pendapat Gus Dur sebenarnya hal yang sangat wajar dan adaptif dengan fakta serta kondisi bangsa ini. Misalnya, kebijakan meniadakan sekat-sekat perbedaan
antara kaum mayoritas dan minoritas, yang diimplementasikan dengan penghapusan Kepres No. 56 yang selama masa Orde Baru membelenggu warga Tionghoa. Atau pendapatnya mengenai pluralisme agama, yang menurutnya perbedaan tidak seharusnya disikapi dengan kekerasan fisik.

Meski Gus Dur hanya dua tahun berkuasa, sebuah masa yang paling singkat dalam sejarah kekuasaan di Indonesia, telah banyak jasa yang ditorehkan. Selain soal memperlakukan adanya perbedaan dalam tubuh bangsa ini, Gus Dur juga telah menanamkan prinsip berdemokrasi seperti mengembalikan Dwi Fungsi ABRI atau militer harus kembali ke barak, pemisahan TNI-Polri, kebebasan pers dan berpendapat.

Tidak ketinggalan, warisan penting seperti desakralisasi kekuasaan Presiden juga digagas oleh Gus Dur. Lewat kepemimpinannya, institusi kepresidenan tak lagi sakral, bahkan rakyat biasa pun yang memakai sendal jepit boleh memasuki Istana Presiden untuk pengajian.

Mungkin hanya sekali sepanjang sejarah Indonesia, di mana istana kepresidenan bisa menjadi tempat pengajian bagi masyarakat umum. Hal ini dapat dipahami, karena Gus Dur terlahir dan dibesarkan dalam tradisi pesantren yang sangat kental. Di kalangan NU, Gus Dur dianggap sebagai pewaris tahta, bukan cuma karena dia keturunan kodrat al-Syaikh KH Hasyim Asyari, melainkan juga karena penghormatan warga nahdiyin selama ini terhadap integritas keilmuwan Gus Dur serta pembelaan-
nya terhadap kaum minoritas (Barton, 2001).

Gus Dur tak hanya seorang intelektual, tetapi juga lebih dari itu, beliau adalah intelektual publik yang membumi untuk dibedakan dengan intelektual kampus yang terkesan soliter. Dalam bahasa lain, Cus Dur adalah seorang mufakir jamahir atau pemikir yang memiliki massa fanatik, sama halnya seperti cendekiawan dan tokoh Revolusi Iran Ali Syariati atau Rachid Ghannuci intelektual dan tokoh politik dari Syiria.

Memang, pada akhir hayatnya, beliau terkesan terjerumus dalam politik PKB. Setidaknya selama paruh akhir dekade 90-an, Gus Dur memang terlalu menjerumuskan diri dalam dunia politik praktis. Risiko utama yang harus dibayar jika seorang masuk dalam politik praktis, apakah dia seorang intelektual, akademisi atau ulama, akan menjadi profan. Sementara itu, jika seorang intelektual, akademisi atau ulama, tak masuk dalam politik praktis, kesaksiannya dimata publik akan tetap tenaga. Kesan itulah yang ditangkap publik awam.

Membangun mitos Awalnya, Gus Dur sudah berhasil memosisikan diri sebagai tokoh sakral dalam wilayah NU khususnya. Sebuah kesakralan yang awalnya dibangun dari mitos-mitos. Misalnya, bahwa Gus Dur masih ada keturunan dengan Joko Tingkir (pahlawan legendaris dalam kisah masyarakat Jawa), atau bahwa dia bisa berhubungan dengan jin, dan mitos lain yang muncul (atau dimunculkan).

Semua mitos tersebut membawa konsekuensi logis, di mana Gus Dur akhirnya menjadi sakral di mata warga nahdiyin. Itulah sebabnya, dalam dekade sebelum paruh akhir 90-an, misalnya, mencium tangan kiai (seperti Gus Dur) atau meminum air di gelas bekas seorang kiai, diyakini warga nahdiyin sebagai barokah (Najib, 2002). Jika hal itu dilakukan seorang santri, dia berpotensi mendapat makrifat atau

kepintaran supranatur-al karena mendapat barokah, dan cerita miring lain yang selama ini berkembang dalam tradisi NU. Kesan persaingannya dengan anak-anak muda NU yang berpolitik di PKB seperti Syaifullah Yusuf, Muhaimin Iskandar dan sebagainya, di sebagian kalangan menganggap Gus Dur semakin kerdil ketika memasuki persaingan itu. Padahal, anak-anak muda NU tersebut dibesarkan sendiri oleh Gus Dur. Bagaimanapun, mereka anak-anak asuh Gus Dur, kebesaran mereka kini tak lain karena bayang-bayang serta pengaruh Gus Dur.

Dari sini kita bertanya-tanya, apakah situasi itu sengaja diciptakan Gus Dur? Artinya, Gus Dur sengaja mempersiapkan kader-kader yang kelak akan mengkritik dan beroposisi dengan beliau. Sebab, mantan Gubernur DKI Ali Sadikin juga pernah menciptakan iklim seperti itu ketika mendirikan LBH Jakarta. Saat Ali Sadikin masih menjabat Gubernur, salah satu yang mendanai LBH adalah Ali Sadikin. Namun, apa yang terjadi, LBH Jakarta justru banyak mengkritik kebijakan-kebijakan Ali Sadikin yang kurang pro rakyat. Itu penting dilakukan, supaya ada kontrol kekuasaan, meskipun yang mengontrol itu didanai sendiri oleh orang yang menjadi bahan kritik. Kesan itulah yang juga muncul ketika melihat Gus Dur yang beroposisi dengan anak-anak muda NU asuhannya yang berpolitik.

Lepas dari semuanya, Gus Dur bagaimanapun telah memberikan warisan atau teladan yang sangat mulia dan berharga bagi bangsa Indonesia, bukan saja untuk warga nahdliyyin. Yakni bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah negara-bangsa.

Fakta bahwa bangsa ini memiliki banyak perbedaan, tak hanya perbedaan agama, keyakinan dan pemikiran, tapi juga etnis dan suku. Warisan Gus Dur yang paling utama ialah bagaimana mengelola perbedaan tersebut untuk kemajuan, bukan untuk peperangan dan konflik.

Selama ini Gus Dur selalu berada di garis terdepan [avant garde) jika ada kaum minoritas ditindas oleh kesewenang-wenangan mayoritas, rakyat jelata tidak mendapatkan keadilan-nya. Karena itulah, akan sangat disayangkan jika perjuangan Gus Dur selama masa hidupnya itu akan dicederai lagi oleh pihak atau kekuatan tertentu yang tidak bertanggung jawab untuk kembali memperkeruh keadaan.

Tugas Gus Dur telah selesai, kini tinggal kaum muda yang akan melanjutkan perjuangannya yang mungkin masih tersisa. Selamat jalan Gus, selamat kembali ke haribaan Tuhan yang satu! Wallalmalam.

http://bataviase.co.id/node/35683

Tidak ada komentar:

Posting Komentar