KH.ABDUR RAHMAN WAHID

KH ABDUR RAHMAN WAHID YANG BIASA DISAPA GUSDUR ADALAH TOKOH NASIONAL DENGAN BERBAGAI PREDIKAT - SEBAGAI ULAMA BESAR, BAPAK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA - BAPAK LSM - JURNALIS DAN BERBAGAI SEBUTAN LAINNYA

Senin, 11 Januari 2010

Tradisi Bermakmum ke Gus Dur

Tradisi Bermakmum ke Gus Dur

# Zuhairi MisrawiPENELITI PERHIMPUNAN PENGEMBANGAN PESANTREN DAN MASRAYAKAT

Semenjak Hasyim Muzadi resmi digaet Megawati sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilihan presiden 5 Juli nanti, sejumlah milis yang beranggotakan anak muda Nahdlatul Ulama ramai mendiskusikan kondisi NU mutakhir. Sebut saja, milis KMNU dan islamemansipatoris. Anak muda NU tersebut biasanya disebut dengan ABG (Anak Buah Gus Dur). Kenapa? Jawabannya jelas: mereka adalah generasi muda yang merasa nyaman, terinspirasi, dan dilindungi oleh Gus Dur. Anak muda NU dikenal sebagai komunitas progresif dalam tubuh NU yang mempunyai pikiran-pikiran nakal, sebagaimana layaknya Gus Dur.

Saya menangkap kesan, mereka sepertinya kaget dan tak percaya dengan wajah NU belakangan ini. Mereka berharap Gus Dur bisa menjadi satu-satunya rujukan dalam hal apa saja yang berkaitan dengan NU. Kaidah yang diyakini selama ini adalah Gus Dur sebagai problem sekaligus sebagai solusi. Sikap yang diambil Gus Dur mempunyai kemungkinan untuk benar, sehingga mereka biasanya hanya cukup mencari justifikasi dan rasionalisasi. Bahkan, sebagian komunitas yang rasional dan berpendidikan tinggi sekalipun di NU meyakini hanya ada dua pasal tentang Gus Dur. Pertama, Gus Dur tidak pernah salah. Kedua, bila Gus Dur salah kembalikan pada pasal pertama alias "Gus Dur tidak pernah salah".

Namun, ada hal menarik yang perlu diapresiasi secara lebih jauh dari hasil diskusi anak muda NU tersebut, bahwa pembelaan terhadap Gus Dur mulai mengalami degradasi--terutama dalam ranah politik. Sepertinya ada pasal lain, selain kedua pasal tersebut: tidak wajib bermakmum kepada Gus Dur, terutama dalam hal politik.

Kenapa demikian? Alasannya tentu saja karena, bersamaan dengan perjalanan waktu, NU makin menunjukkan kematangannya. Setidaknya, saat ini terpampang secara transparan, telah terjadi distribusi otoritas dan popularitas dalam tubuh NU sesuai dengan maqam-nya. Artinya, tidak bisa seluruh urusan dipanggul di pundak Gus Dur. Urusan NU dan urusan bangsa yang begitu kompleks tak bisa diselesaikan oleh seorang Gus Dur. Paling-paling, Gus Dur hanya bisa menjadi "pengamat" atau "pelatih". Sedangkan untuk menjadi "pemain" sepertinya akan memberi dampak yang perlu dipertimbangkan, di antaranya ketidakmampuan pemain yang lain menangkap pesan Gus Dur yang selalu abstrak. Karenanya, segala urusan yang berkaitan dengan publik dan kepentingan masyarakat banyak harus diserahkan kepada "pemain", yaitu masyarakat dan warga terbaik pada umumnya.

Munculnya sejumlah tokoh kandidat pemimpin nasional dari komunitas NU, seperti Hasyim Muzadi, Salahuddin Wahid, Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz semakin menguatkan bahwa bermakmum kepada Gus Dur bukanlah sebuah kewajiban yang bersifat mutlak. Artinya, tradisi untuk selalu bermakmum kepada Gus Dur sudah tidak mungkin lagi. NU telah memproduksi sejumlah tokoh yang brilian dan kredibel dalam bidangnya. Ini memberikan dampak yang amat baik bagi NU di masa mendatang, bahwa putra terbaik NU mempunyai kesempatan yang sama dan setara untuk tampil ke permukaan. Fakta ini setidaknya juga akan mematahkan klaim bahwa hanya mereka yang berasal dari "darah biru" atau "orang-orang terdekat" saja yang mampu beraktualisasi dan berperan secara maksimal, sebagaimana yang terjadi dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa saat ini.

Keberanian Hasyim Muzadi untuk melawan pakem dan mendobrak mitos politik NU menjadi salah satu contoh terbaik. Hasyim bukanlah sosok yang berasal dari komunitas darah biru dan tidak pula dari lingkungan terdekat Gus Dur, sehingga memungkinkan dia untuk melampaui tradisi NU yang sudah mendarah daging untuk bermakmum selamanya kepada Gus Dur. Terpilihnya Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum PB NU pada muktamar Kediri sebenarnya menimbulkan kontroversi juga di kalangan NU. Bagaimana mungkin Hasyim yang tidak berasal dari darah biru menjadi Ketua Umum PB NU? Walaupun begitu, Hasyim dianggap berhasil memegang tampuk kepemimpinan NU, meski tingkat keberhasilannya masih bisa diperdebatkan bila dibandingkan dengan tingkat keberhasilan Gus Dur.

Klausul untuk tidak bermakmum kepada Gus Dur untuk saat ini dan mungkin saat-saat yang akan datang perlu mendapat perhatian semestinya oleh semua pihak. Pertama, persoalan bangsa pada umumnya dan NU pada khususnya memerlukan diagnosis dan anatomi yang mendalam. Mengharap solusi dan jawaban dari seorang Gus Dur sepertinya terkesan menyederhanakan persoalan. Caranya adalah menjadikan Gus Dur sebagai salah satu rujukan dan bukan satu-satunya rujukan penting, merupakan sebuah kesadaran yang semestinya dibangun dalam konteks berbangsa dan ber-NU. Toh, Gus Dur sendiri tidak bermaksud memberikan solusi, tapi hanya memberi "petunjuk" dan "jalan" yang bisa dipertimbangkan.

Kedua, bermakmum atau bermazhab kepada tokoh tertentu bukanlah hal yang mutlak. Bahkan dalam tradisi fiqih pun belakangan telah muncul gagasan untuk tidak bermazhab secara ketat (allamadzhabiyyah) atau bermazhab secara metodologis (al-madzhab al-manhajy). Pemandangan ini sesungguhnya memberikan makna yang cukup berarti dalam konteks yang lebih luas, bahwa kesadaran untuk bermakmum kepada sosok dan pendapat tertentu telah mengalami kelenturan yang sangat luar biasa. Ini sesuai dengan pesan Imam Ali yang selalu diajarkan di pesantren, "lihatlah apa yang ia katakan, bukan siapa yang mengatakan" (undzur ma qala wa la tandzur man qala).

Karena itu, ada baiknya bila NU di masa mendatang mengembangkan tradisi baru yang lebih mengutamakan dimensi kontraksial, baik dalam konteks NU sendiri maupun konteks yang lebih luas. Dukungan terhadap tokoh tertentu hatta kepada mereka yang berasal dari "darah biru" sekalipun tidak bisa diberikan secara mudah dengan kepercayaan penuh, tapi harus melalui "kontrak sosial" yang jelas, sehingga tatkala memimpin tidak bisa memanipulasi suara jemaahnya.

NU merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh dan wibawa, tidak hanya dalam ranah nasional tapi juga internasional. Karenanya, NU mesti membuat mekanisme yang jelas mengenai pilihan-pilihan strategisnya, baik dalam politik maupun kerja-kerja kultural. Sebab, fakta untuk menyerahkan mandat kepada seseorang tanpa adanya mekanisme yang jelas hanya akan memberikan beban yang amat berat, yaitu ketidakjelasan kepada siapa sebenarnya keberpihakan diberikan? Kepada seseorang atau kepada publik?

Dalam hal inilah NU perlu keras mereposisi dirinya untuk menjadi organisasi yang memberikan makna dan manfaat berarti bagi warganya. Dan itulah substansi khitah yang sesungguhnya.

http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VggOXFgAVgcA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar