KH.ABDUR RAHMAN WAHID

KH ABDUR RAHMAN WAHID YANG BIASA DISAPA GUSDUR ADALAH TOKOH NASIONAL DENGAN BERBAGAI PREDIKAT - SEBAGAI ULAMA BESAR, BAPAK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA - BAPAK LSM - JURNALIS DAN BERBAGAI SEBUTAN LAINNYA

Minggu, 10 Januari 2010

Membaca Jalan Pikiran Gus Dur

Ditulis oleh K.H.M. Fuad Riyadi
Wednesday, 23 April 2008
Sungguh disayangkan Muhaimin Iskandar, politisi muda berbakat luar biasa itu, akhirnya memilih langkah menuju ketidakjelasan karier politiknya. Pekan-pekan terakhir ini, dia mengulangi kekeliruan yang telah “dicontohkan” Mathori Abdul Jalil dan Alwi Shihab; melawan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) di jagad PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Seperti biasanya, Gus Dur “dengan seenaknya” dan over PD (percaya diri) bilang, perlawanan Muhaimin hanya sia-sia. “Seperti yang sudah-sudah, nanti saya yang menang (lagi)”, demikian pernyataan Gus Dur kurang lebihnya.
Muhaimin tak bisa disamakan dengan Saifulloh Yusuf atau Choirul Anam. Meski sama-sama melawan Gus Dur, Saiful “tidak habis” karier politiknya. Choirul malah jadi ketua PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama, sebuah nama partai yang kurang sedap bunyinya didengar telinga, gara-gara mengejar singkatan “NU”) yang siap-siap “mempecundangi” PKB pada pemilu mendatang. Memang, seperti Saifulloh dan Choirul Anam, Muhaimin juga dibela sejumlah kiai. Bedanya, Saifulloh dan Choirul Anam dibela banyak kiai kharismatik seperti dari poros Langitan yang di luar jangkauan bayang-bayang Gus Dur (Gus Dur saja dulu menyebut mereka kiai khos untuk menunjukkan penghormatan luar biasa), sementara Muhaimin hanya didukung sejumlah kiai yang (masih) tergabung dalam jajaran dewan pimpinan PKB: barisan kiai yang masih di bawah bayang-bayang Gus Dur alias kalah awu.
Tuduhan klasik Gus Dur bahwa Muhaimin diperalat SBY, boleh saja dianggap angin sepi dan ngawur oleh Andi Malarangeng (jubir SBY). Paling tidak, kepastian PKB sebagai salah satu partai peserta Pemilu 2009 dengan adanya konflik internal tersebut menjadi terhambat. Tuduhan Fachri Ali bahwa Gus Dur menerapkan politik patron di PKB –siapa pun kalau tidak mau menempatkan Gus Dur sebagai bos pasti dibuang-, boleh saja membesarkan hati Muhaimin dan kawan-kawannya. Namun, beberapa catatan berikut ini tak ada salahnya untuk dipertimbangkan
Dulu, Mathori ditendang Gus Dur sebelum diangkat menjadi Menteri Pertahanan oleh Megawati. Tuduhan serupa juga pernah dilayangkan Gus Dur kepada Alwi Shihab. Ujung-ujungnya, Alwi kini diangkat menjadi duta besar setelah keok berebut PKB. Ketika Gus Dur menuduh KPU sarang maling dan diperalat oleh salah satu kandidat calon presiden, orang mengira tuduhan itu asbun alias asal bunyi dan semata-mata karena Gus Dur kagol tidak diloloskan KPU sebagai salah satu calon presiden periode 2005-2009. Belakangan, Hamid Awaludin (salah satu anggota KPU) jadi menteri hukum dan perundang-undangan(?). Dan lebih gilanya lagi, seorang profesor doktor seperti Nazarudin Syamsudin (ketua KPU), Mulyana W Kusuma –dua tokoh yang rasa-rasanya impossible melakukan korupsi- dan beberapa anggota KPU pusat lainnya benar-benar terbukti di pengadilan sebagai “tuan rumahnya” sarang maling. Hamid Awaludin pun, terlibat atau tidak, akhirnya lengser dari kedudukan sebagai menteri hukum dan perundang-undangan.Lebih ke belakang lagi, beberapa pekan sebelum SU MPR tahun 1999 yang menetapkan Gus Dur sebagai presiden, dia sudah bilang kepada banyak orang, salah satunya Syafii Maarif yang waktu itu ketua Muhammadiyah, bahwa dia akan jadi presiden.
Politik Patron
Memang, dalam Piala Dunia tahun 2002 di Korea Selatan, Gus Dur memprediksikan final akan terjadi antara kesebelasan Korea Selatan lawan Turki. Ternyata, justru Jerman dan Brasil yang maju ke final. Tapi, harap dicatat, (1) Gus Dur tidak menyaksikan pertandingan sepakbola dengan matanya sendiri, hanya lewat telinga, karena waktu itu Gus Dur sudah mengalami kebutaan, (2) banyak pakar bola juga sependapat dengan prediksi Gus Dur.Kini, soal politik patron seperti sinyalemen Fahri Ali. Perlu dipertimbangkan beberapa kalimat pertanyaan dan kemungkinan jawaban berikut ini: lebih populer mana antara PKB (bahkan NU sekalipun) dibandingkan Gus Dur? Kemungkinan jawabannya; Gus Dur. Untuk saat ini, bisakah PKB tanpa Gus Dur? Kemungkinan jawabannya; sulit. Bisakah Gus Dur meneruskan sepakterjang di dunia politik tanpa PKB? Jawabnya; bisa. Di antara politisi PKB lainnya, sudah adakah sosok yang bisa mengimbangi atau melebihi Gus Dur dari segi popularitas, intuisi, kharisma, kecerdasan, pengaruh dan pengalaman di dunia politik? Jawabnya; belum. Muhaimin, seperti Mathori, Alwi, Saifulloh, dan Choirul Anam, belum kelasnya melawan Gus Dur. Ibarat kesebelasan anggota divisi II PSSI bertanding melawan tim inti Manchester United! Seumpama Cris Jon melawan Mike Tyson!
Politik patron yang terjadi secara alamiah di PKB hanya menunjukkan bahwa politisi PKB masih harus banyak belajar dan bersabar menunggu waktu hingga mereka setidak-tidaknya bisa sekelas dengan Gus Dur. Benar nasehat Effendi Choiri, salah seorang politisi PKB seangkatan Muhaimin, kalau Muhaimin mau manut Gus Dur yang memang sejak awal adalah guru sekaligus bapak ideologisnya, dia selamat. Bisa jadi Muhaiminlah yang paling layak sebagai calon pewaris tahta Gus Dur di PKB. Tapi, kalau membangkang seperti sekarang? “Saya yang menang (lagi), Kang!”, begitu kira-kira Gus Dur bilang. Namun itulah yang namanya politik. Pagi kedelai sore sudah bisa menjadi tempe atau tahu atau apalagi bentuknya, terserah sang aktor yang kuat posisinya. Yang jelas dunia politik tak ada yang pasti!
Terakhir Diperbaharui ( Saturday, 16 May 2009 )
Gus Dur, Antara Cendekiawan dan Politisi
Oleh Eman Hermawan
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tokoh fenomenal dalam dunia politik dan pemikiran Indonesia di seperempat terakhir abad ke-20. Ia hadir sebagai cendekiawan dan sekaligus politisi yang menonjol sejak pertengahan tahun 1970-an. Demikian ditulis Mitsuo Nakamura "The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, Vol. I, Tahun 1995: 14".
Sebagai cendekiawan, Gus Dur telah membangun suatu proses pencerahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya warga Nahdlatul Ulama. Pemikirannya yang tertuang dalam berbagai tulisannya adalah rujukan sekaligus inspirasi bagi banyak orang.
Sementara sebagai politisi, Gus Dur telah berhasil menjadi orang nomor satu di Indonesia, menjadi presiden selama 21 bulan (Oktober 1999-Juli 2001). Setelah lengser dari jabatan presiden, Gus Dur kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, sejak 2001 sampai saat ini.
Benar kata Michel Foucault bahwa di balik motif pencerahan dan pemberdayaan yang dimiliki oleh seorang cendekiawan, sebenarnya terdapat dorongan untuk berkuasa dan mendominasi (Michel Foucault, Power/Knowledge, 1980).
Kemudian, sebagian dari kita akhirnya menyaksikan bahwa Gus Dur tampaknya lebih sukses sebagai cendekiawan daripada politisi.
Cendekiawan
Gus Dur pertama kali muncul di tengah masyarakat Indonesia sebagai cendekiawan. Sejak awal 1970-an, ia banyak menulis di media massa maupun jurnal ilmiah. Ia juga diundang sebagai penceramah dalam berbagai seminar, baik yang diadakan oleh lembaga-lembaga pendidikan, ormas maupun departemen pemerintah.
Setelah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar NU pada tahun 1984, Gus Dur lebih sering tampil sebagai seorang juru dakwah yang mengisi ceramah agama di tengah masyarakat di hampir seluruh pelosok tanah air.
Gus Dur adalah representasi pemikir Islam yang secara terus-menerus berusaha menerjemahkan Islam dengan visi humanitarianistik. Dengan modal khazanah pemikiran klasik yang menjadi ciri khas pesantren, ia mampu menghadirkan suatu konstruksi pemikiran dan sikap keberagamaan yang lebih membumi, toleran, dan bersahabat dengan realitas sosial yang ada.
Gus Dur mampu menjadi "jendela rumah NU" yang selama bertahun-tahun dicap dengan berbagai label kemunduran, keterbelakangan, dan kejumudan. Ia menjadi lokomotif transformasi pemikiran warga NU, khususnya di kalangan anak muda sehingga NU diakui sebagai pilar masyarakat sipil yang utama.
Sebagai cendekiawan, Gus Dur adalah jembatan nilai-nilai dan berbagai kelompok kepentingan yang ada. Gus Dur adalah jembatan antara tradisi dan kemodernan, sipil dan militer, masyarakat dan negara, mayoritas dan minoritas, LSM dan pemerintah.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur, NU pun bisa menjadi salah satu pelopor demokratisasi politik bangsa, pemberdayaan masyarakat, dan pencerahan pemikiran melalui berbagai bentuk kajian kritis tentang Islam dan tradisi.
Tidak heran jika atas kepeloporan dan kesuksesannya melakukan transformasi menyeluruh di tengah masyarakat, NU itu menjadi bagian tak terpisahkan dari transformasi bangsa in toto, kemudian banyak intelektual asing yang tertarik meneliti pemikiran Gus Dur. Sebut saja Adam Schwartz, Douglas E. Ramage, Mitsuo Nakamura, Martin van Bruinessen, Andree Feillard, Greg Fealy, dan Greg Barton, untuk menyebut beberapa nama, yang telah menulis berbagai artikel, makalah, dan buku tentang Gus Dur. Barangkali, tidak ada cendekiawan Indonesia yang lebih populer dari Gus Dur pada akhir abad ke-20 yang lalu.
Politisi
Sebagai politisi, Gus Dur juga tergolong sukses. Ia sangat piawai dan berhasil mencuri momentum sehingga bisa menjadi presiden ke-4 RI. Kecerdasan, kejelian, dan sekaligus kemampuan humornya yang tinggi membuatnya bisa dterima berbagai kalangan, baik militer, birokrasi, LSM, dan kelompok-kelompok di luar Islam.
Kedekatannya dengan berbagai kalangan itu yang membuatnya lebih leluasa berkomunikasi dengan pihak lain, memahami pendapat mereka, dan sekaligus mengomunikasikan pendiriannya sendiri. Oleh karena itu, ia bisa dekat dengan LB Moerdani, tetapi juga tetap kritis dengannya. Ia juga dekat dengan Soeharto, tetapi tidak pernah dicap sebagai antek Cendana.
Namun, nasib Gus Dur sebagai politisi tampaknya tidak sebaik posisinya sebagai cendekiawan. Sebagai cendekiawan, ia tetap dikenal dan disegani sebagai tokoh besar yang terus menjadi rujukan dan sumber inspirasi. Ilmu dan pengetahuan memang punya sifat yang abadi.
Sementara sebagai politisi, Gus Dur bisa dikatakan kurang berhasil. Ia gagal mempertahankan jabatan presiden yang memungkinkannya membuat perubahan struktural secara fundamental di negeri ini. Ia juga gagal meminimalisasi konflik di tubuh PKB. Bahkan dari waktu ke waktu, konflik di partai ini semakin parah.
Gus Dur juga tidak berhasil menjaga hubungan silaturahmi yang baik dengan kiai-kiai, NU, dan juga kader-kader yang dibesarkannya. Sebagian besar kader yang dibesarkan justru kemudian menjadi "musuh" politiknya. Demikian juga kiai-kiai yang dahulu gigih membelanya.
Oleh karena itu, tidak heran jika banyak kiai sepuh, tokoh-tokoh NU, dan keluarga besar K.H A. Wahid Hasyim sendiri yang menginginkan Gus Dur kembali sebagai cendekiawan rakyat, keluar dari politik praktis. Dengan begitu, ia akan kembali bisa lebih diterima oleh berbagai kalangan dan selalu dirindukan pemikirannya yang mencerahkan dan mencerdaskan semua orang. Seperti K.H. A. Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) yang di akhir hayatnya--setelah menolak untuk dicalonkan kembali menjadi menteri agama--lebih memilih hidup sebagai cendekiawan dengan mengembangkan minatnya yang bersifat sosial dan kebudayaan.***
Penulis, Direktur Local Empowerment Center, Jakarta dan penulis buku "9 Alasan Mengapa Kiai-kiai tetap Bersama Gus Dur" (2007).
Gus Dur yang Saya Kenal...
Kamis, 31 Desember 2009 | 03:06 WIB
Telepon berkali-kali berdering, SMS berdatangan. Pertanyaannya satu: Benarkah Gus Dur meninggal dunia?
Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan ini karena saya harus menjawab ”ya”. Dan, mereka semua menangis.Mereka adalah orang-orang biasa dengan latar agama yang berbeda. Mereka tak pernah mengenal Gus Dur secara pribadi, tetapi merasa dekat dengan tokoh ini.
Bagi mereka, Gus Dur adalah pembela kaum minoritas, Gus Dur pejuang Islam moderat, Gus Dur pembela demokrasi … dan masih banyak lagi.
Bagi saya, Gus Dur adalah tokoh besar yang sangat membumi. Perkenalan kami dimulai tahun 1992 ketika Gus Dur masih menjabat Ketua Tanfidziyah PB Nahdlatul Ulama di bawah rezim Soeharto. Secara intens kami sering berdiskusi di kamar kerjanya yang kecil dan bersahaja di Kantor PBNU di Kramat Raya.Di antara buku-buku, kertas, tumpukan kaset dan CD musik klasik yang memenuhi meja kerjanya, Gus Dur kerap ”menyembunyikan” makanan lorju’ (kacang bercampur ikan kecil). Ia senang mengobrol sambil mengudap.
”Jangan bilang-bilang ya, nanti Mbak Nur (Shinta Nuriyah, sang istri) marah, saya kan disuruh diet. Tapi, ini makanan enak,” katanya sambil terkekeh.
Sudah sejak lama Gus Dur mengidap diabetes sehingga sebetulnya ia dilarang untuk makan seenaknya. Tapi, Gus Dur memang susah dilarang. Lagi pula, siapa di lingkungan PBNU yang berani melarangnya? ”Yang berani cuma Mbak Nur,” katanya.
Topik diskusi yang sering kami singgung—kadang bersama tamu-tamu lain—antara lain tentang masa depan Nahdlatul Ulama. Sejak belasan tahun lalu Gus Dur sudah memproyeksikan bahwa akan ada tiga corak di tubuh NU.
Yaitu corak kiai fikih yang dirangsang pikiran modern (Gus Dur saat itu mencontohkan Kiai Ishomudin), corak LSM (ia mencontohkan Masdar Mas’udi), dan corak gado-gado, yaitu masyarakat biasa maupun politisi yang memiliki pengabdian di NU.
Dialog dari ketiga corak inilah, kata Gus Dur, yang akan menentukan wajah transformatif NU di masa depan.
Perkembangan Islam di Indonesia, toleransi terhadap agama lain, perlindungan terhadap kaum minoritas, dan demokrasi juga merupakan topik yang bisa membuatnya semangat berbicara sampai berjam-jam.
Mengenai wajah Islam Indonesia, misalnya, Gus Dur kala itu mendukung pandangan almarhum Nurcholish Madjid. ”Tolong Cak Nur dibela ya. Kasihan, saat ini dia sedang mendapat banyak tentangan,” pesannya kala itu.
Setiap hari, warga NU dari berbagai daerah setia menunggu di ruang tunggu Kantor PBNU (yang masih belum direnovasi) untuk bertemu dengannya. Mereka datang untuk meminta petunjuk tentang persoalan di daerah dan Gus Dur melayani mereka satu per satu.Gus Dur tak pernah membedakan kelas sosial. Warga NU yang menikah atau meninggal dunia akan dicoba untuk disambanginya. Meskipun ia harus masuk ke gang-gang kecil atau berkendaraan berjam-jam.
Saya masih ingat ketika ayahanda meninggal dunia tahun 1999, Gus Dur datang melayat dan ikut menshalati. Ia pun beberapa kali menelepon untuk menghibur dan memberi penguatan. ”Saya mengerti bagaimana kesedihan Anda. Saya juga sangat kehilangan ketika ibu dulu pergi,” kata Gus Dur tentang almarhumah ibunda, Ny Hj Solichah Wahid Hasyim.Bahkan, Gus Dur masih menyempatkan menjenguk ketika saya terbaring di rumah sakit. Sungguh sebuah bentuk perhatian yang mengharukan dari tokoh bersahaja ini.
Indra keenam
Banyak yang meyakini Gus Dur memiliki indra keenam. Terlepas dari benar atau tidaknya, tetapi suatu siang pada tahun 1998 Gus Dur menelepon. Kali ini cukup lama, sekitar satu jam. Ia menceritakan tentang berbagai hal, termasuk mimpinya. Singkatnya, mimpi itu memberikan isyarat yang nyata bagi Gus Dur.
”Mbak, saya akan menjadi presiden,” katanya tenang.
Saya tidak menanggapi dengan serius, tetapi saya mencatat obrolan itu. Sekitar setahun kemudian, Gus Dur benar-benar menjadi presiden.Ketika saya menemuinya di Istana Negara, Gus Dur hanya tertawa terkekeh ketika diingatkan akan mimpinya tersebut.Wajah Istana Negara pada masa kepemimpinan Gus Dur berubah total, tidak lagi angker dan formal. Wartawan maupun masyarakat bisa memiliki akses yang leluasa. Hubungan pun lebih cair dan penuh guyon.
Pertemuan saya terakhir adalah pada hari ulang tahunnya bulan Agustus 2009. Tercekat rasanya melihat Gus Dur dibaringkan di ruang tamu. Gus Dur berusaha menyambut setiap tamu dengan mengangkat tangan dan menganggukkan kepala. Meskipun suaranya sudah lirih, Gus Dur tetap semangat bercerita tentang Indonesia.
Dari karangan bunga dan banyaknya tamu yang datang hari itu, jelas bahwa tokoh besar ini sangat disayang masyarakat. Seorang sahabat bahkan sampai menitikkan air mata ketika mendoakan kesehatan Gus Dur. ”Saya mendoakan dia berumur panjang. Karena dialah pembela kaum minoritas,” katanya.Tuhan memiliki rencana sendiri. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Tokoh besar ini meninggal dunia, Rabu (30/12), di tengah keluarga yang mencintainya. Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Seorang demokrat yang gigih memperjuangkan kebebasan dan demokrasi.
Selamat jalan Gus, semoga kami bisa meneladani dan meneruskan semua perjuanganmu....
(Myrna Ratna)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar