KH.ABDUR RAHMAN WAHID

KH ABDUR RAHMAN WAHID YANG BIASA DISAPA GUSDUR ADALAH TOKOH NASIONAL DENGAN BERBAGAI PREDIKAT - SEBAGAI ULAMA BESAR, BAPAK KERUKUNAN UMAT BERAGAMA - BAPAK LSM - JURNALIS DAN BERBAGAI SEBUTAN LAINNYA

Senin, 11 Januari 2010

Gus Dur dalam kenangan (1)

Gus Dur dalam kenangan (1)
Jual kacang dan es lilin buat tambah-tambah

Image
Foto: jakartapress.com
BULAN kalangan, kata orang tua tanda duka cita. Begitu seorang teman menulis di status facebook malam tadi. Benar, semalam -setidaknya di Semarang- bulan bersinar terang bundar nyaris sempurna. Maklum, sudah tanggal 13 bulan Jawa. Benarkah itu tanda duka cita, tetapi faktanya memang, seorang tokoh besar negeri ini berpulang. KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden ke-4 RI, wafat di RSCM pukul 18.45, Rabu malam (30/12). Gus Dur mengalami kritis sekitar pukul 18.30, dan Tuhan telah memanggilnya. Sontak, media memberitakannya nyaris tiada henti.

Dua televisi swasta dan TVRI menyiarkan secara langsung meninggalnya Gus Dur, dan mengundang orang-orang yang punya kedekatan dengan Gus Dur untuk berbagai perbincangan. Radio Elshinta (Jakarta) dan Radio Idola (Semarang) pun menyiarkan suasana di Ciganjur hingga lewat tengah malam. Dan, seharian ini televisi tak henti menyiarkan wafatnya Gus Dur hingga ke pemakaman, dan semua koran menjadikan berita itu sebagai head line.

Gus Dur adalah presiden yang luar biasa. Pada masa pemerintahannya, banyak hal terjadi. Perubahan dilakukan di TNI, dan baru pertama kali menhan seorang sipil, yakni Mahfud MD. Dia dikenal sering melanggar protokoler kepresidenan. ”Kepada saya Gus Dur bilang, presiden yang mengatur protokol, bukan protokol yang mengatur presiden,” kata mantan Kepala Protokoler Kepresidenan Wahyu Muryadi di TVRI tengah malam tadi.

Banyak yang belum tahu bahwa nama kecil Gus Dur adalah Abdurrahman Addakhil. Secara leksikal, Addakhil bermakna penakluk, sebuah nama yang diambil ayahnya dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Dalam perbincangan di TVRI tengah malam tadi, Wahyu Muryadi yang juga wartawan Tempo itu, Gus Dur dikenal sebagai pendobrak sesuai namanya. Wahyu menerjemahkan kata addakhil sebagai pendobrak.

Darah biru NU
Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Dia putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny Hj Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Karena mbah buyut-nya pendiri NU, maka us Dur dikenal juga dengan sebutan ”berdarah biru NU”.

Berdasarkan silsilah keluarganya, Gus Dur menyatakan ia memiliki darah Tionghoa yakni keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.

Setelah meninggalkan Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir (tidak selesai) dan Universitas Baghdad di Irak, Gus Dur bergabung dengan dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Dalam periode yang sama, Gus Dur merasa terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Gus Dur merasa prihatin dengan melunturnya nilai-nilai tradisional pesantren. Salah satu penyebabnya adalah pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.

Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulangpergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian. Maka, seperti ditulis Barton dalam Biografi Gus Dur, ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis es lilin istrinya.

Garis hidup
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita- cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.

SMEP dan Krapyak
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah salat subuh mengaji pada KH Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Santri keheranan
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satudua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara bukubuku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ’The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis- memberi buku karya Lenin What is To Be Done . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.

Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktik-praktik ritual mistik. Di bawah bimbingan kiai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburankuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran.

Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan,pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar, dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburanhiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo. Widiyartono R/bersambung-yan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar